Musim giling tebu berakhir lebih cepat di Gondang Baru. Siang pada awal Oktober itu, ketika sebagian besar pabrik gula di Jawa masih melakukan aktivitas, tidak terlihat truk-truk pengangkut tebu yang antre masuk ke emplasemen pabrik yang berlokasi di tepi jalan utama Yogyakarta-Solo.
Cerobong besar pabrik telah berhenti mengepulkan asap sisa pembakaran ampas. Roda-roda raksasa penggerak mesin giling diistirahatkan.
Senin (5/10) siang itu, empat pekerja bersama-sama berusaha mengangkat salah satu roda mesin giling dari dudukannya. ”Pabrik ini seperti sengaja dibuat fosil hidup. Dibiarkan tidak diubah sama sekali supaya orang tahu bagaimana pabrik gula dari zaman Belanda,” ujar Sutrisno, salah seorang pekerja.
Para petugas pabrik menggunakan cara kanibal untuk memperbaiki mesin. Suku cadang peralatan mesin mengambil mesin-mesin lama yang sudah tidak dipakai. Suiker Fabrik Gondang Winangoen didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1860. Setelah sempat dijadikan gudang senjata pada zaman Jepang, pabrik tersebut dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.
Seusai menjalani rehabilitasi tahun 1960, pabrik itu berubah namanya menjadi PG Gondang Baru. Secara fisik, pabrik tidak banyak bersalin rupa. Sebagian peralatan produksi dari zaman Belanda masih digunakan. Pabrik masih menggunakan mesin uap penggerak roda pemotong batang tebu buatan Perancis. Dari plakat yang tertempel di tubuh mesin tertulis angka tahun 1884 sebagai tanggal pembuatan.
Di unit penguapan, tungku untuk menguapkan nila (hasil perahan tebu) juga masih menggunakan barang lama. Ada tungku yang tahun pembuatannya tahun 1928. Upaya peremajaan mesin sempat dilakukan tahun 1978, PG mencoba membuat tungku baru.
Namun, menurut para pekerja, mesin baru itu justru kalah jauh dari mesin buatan tahun 1928. PG Gondang Baru pernah mencapai puncaknya pada tahun 1989 dengan produksi hablur mencapai 186.000 kuintal. Namun, saat ini produksi hablur kurang dari 30.000 kuintal.
PG Gondang Baru adalah gambaran nasib pabrik gula tebu yang tidak mampu melawan perubahan. Ironisnya, sebagian pabrik itu statusnya termasuk dalam pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) melalui PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Tercatat, dari 58 pabrik gula di Jawa, sebanyak 52 pabrik gula dimiliki oleh BUMN.
Pabrik gula biasanya memulai musim giling pada bulan Mei, mengikuti musim panen awal tebu. Proses giling tersebut akan berlanjut hingga tebu terakhir dipanen pada Oktober atau November. Namun, baru masuk Agustus, PG Gondang Baru sudah kehabisan bahan baku. ”Praktis masa giling hanya sekitar tiga bulan, sisanya selama tujuh bulan ya diisi dengan perbaikan,” kata Kepala Bagian Umum PG Gondang Baru Bambang Is.
Dari target giling tebu tahun ini sebanyak 1,4 juta kuintal, yang terealisasi hanya 1,04 juta kuintal. Kapasitas pabrik sebenarnya dirancang untuk bisa menggiling 1.600 ton tebu per hari (ton cane day/TCD). Namun, karena kondisi mesin yang tua, realisasi giling hanya di kisaran 1.350 TCD.
Tak pernah untung
Bambang mengatakan, produksi dari tahun ke tahun terus menurun sejalan dengan keberadaan kebun tebu yang semakin terdesak peralihan lahan untuk permukiman maupun industri. Selain karena peralihan lahan, produksi tebu tahun ini juga semakin berkurang akibat anjloknya harga gula tahun lalu. Harga yang jatuh sampai di bawah Rp 5.000 per kilogram menyurutkan minat petani untuk menanam tebu. Mereka memilih beralih menanam padi, palawija, maupun tembakau.
Berdasarkan catatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dari keseluruhan produksi gula yang dihasilkan oleh pabrik di Jawa Tengah, kontribusi PG Gondang Baru hanya sekitar 5 persen. PG Gondang Baru mengolah tebu dari kebun milik petani yang luasnya mencapai 2.500 hektar. Bandingkan misalnya dengan PG Pesantren Baru yang berlokasi di Kediri, Jawa Timur, yang mengolah tebu dari sekitar 10.000 hektar luasan lahan milik petani.
Dengan kondisi produksi yang tidak mampu menutup biaya produksi tersebut, tidak heran jika dalam sepuluh tahun terakhir ini kondisi keuangan pabrik yang berada di bawah naungan PT Perkebunan Nusantara IX itu berada dalam posisi minus. ”Masih minus, sama seperti tahun lalu, kalau dihitung-hitung ya sudah hampir sepuluh tahun ini belum pernah untung,” ujar Bambang.
Namun, sebagai badan usaha milik negara, opsi menutup pabrik adalah pilihan yang sulit diambil. Apalagi pabrik gula tergolong penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada saat musim giling, PG Gondang bisa menyerap 1.000 tenaga kerja yang terdiri atas 700 buruh tidak tetap yang terlibat dalam pengiriman tebu, penimbangan tebu, sampai buruh kepras di kebun. Selain itu, ada 300 pegawai tetap yang harus terus digaji meski pabrik sudah tidak menggiling.
Menurut Bambang, upaya peremajaan sudah dijajaki manajemen pabrik dan direksi. PG Gondang Baru nantinya justru akan lebih banyak mengolah gula mentah (raw sugar) impor daripada menggiling tebu. ”Rencananya pabrik akan bisa menggiling selama 12 bulan penuh di mana delapan bulan untuk mengolah raw sugar dan empat bulannya tebu,” kata Bambang.
Ia merujuk PG Cepiring sebagai contoh pabrik gula tebu yang bisa bertahan hidup juga dengan mengolah raw sugar. Di tengah tekanan kekurangan bahan baku tebu dan kualitas rendeman tebu yang rendah, beralih pada raw sugar seolah menjadi jalan penyelamat. Bambang mengatakan rencana manajemen itu juga sesuai dengan kebijakan pemerintah. Sebagai solusi untuk menutup kegagalan produksi pabrik gula tebu, pemerintah mendorong perbanyakan pabrik gula rafinasi.
Jurus lompat pagar dengan mengembangkan usaha di luar bisnis gula sudah lebih dulu diambil oleh PG Gondang Baru agar bisa bertahan hidup. Sejak 2004, PG Gondang Baru mengembangkan wisata pabrik gula dan museum gula. Lokomotif dan lori yang terakhir kali digunakan untuk mengangkut tebu dari kebun tahun 1990 dihidupkan lagi sebagai kereta wisata.
Tidak hanya itu, perusahaan juga berencana mengembangkan proyek pemeliharaan sapi potong dan sapi perah di lahan pabrik yang tidak terpakai. Manajemen PG Gondang Baru bekerja sama dengan Koperasi Widodo Makmur di Cianjur untuk mendatangkan 1.500 sapi.
Mungkin akan jadi pemandangan yang ironis apabila akhirnya Gondang Baru yang dikenal sebagai pabrik gula berubah menjadi peternakan sapi. Musim giling tebu tampaknya bakal segera berakhir di Gondang Baru.
Sumber: Kompas, 23 Oktober 2009.
New