Arsip ini merupakan transkripsi bagian Permulaan Kata (preface) dari buku "Kota Jogjakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956" (Darmosugito dkk./ Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, Yogyakarta: 1956). Kecuali pembagian paragraf, arsip ini ditulis kembali dengan susunan kalimat dan ejaan sebagaimana aslinya.
Kesulitan-kesulitan jang saja alami dalam mengerjakan „Sejarah Kota Jogjakarta", yang terutama terletak kepada bahan-bahan yang dapat memberikan kesempurnaan hingga tulisan ini bisa dipertanggung-jawabkan, untuk mengisi kekurangan-kekurangan sejarah dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, penduduk Jogjakarta pada khususnya, karena bagaimana juga saya berusaha mencari kebutuhan-kebutuhan itu, dengan bantuan beberapa ahli sejarah, terutama dari fihak Radya Pustaka di Solo, Kawedanan Kapujanggan di Jogjakarta, jawatan Kebudayaan PP dan K. di Jogjakarta, masih juga tidak dapat bahan-bahan yang sempurna, karena dokumen-dokumen yang perlu untuk bahan¬-bahan sejarah kurang mencukupinya.
Dari orang-orang tua yang saya pandang masih memperhatikan akan sejarah, saja dapati juga beberapa dongengan (legende) yang berhubungan dengan sejarah Jogjakarta dan Kotanya, tetapi sebagai kebiasaan dongengan-dongengan didalam masarakat kita yang berkenaan dengan sejarah atau tambo, pada umumnya tidak dapat diterima mentah-mentah saja, sebab umumnya mempunyai „inti sari" jang lebih mendalam, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-¬orang yang tahu banyak tentang dasar kehidupan dan penghidupan suku Jawa saja. Dengan demikian sulitlah rasanya dijadikan bahan dalam membentuk sejarah dalam arti jang sebenarnya.
Disamping itu, saya dapati juga beberapa bahan dari buku-buku sejarah, tulisan ahli-ahli sejarah bangsa asing, diantaranya Prof. P.J.Veth, Jacob Mosses, Hartings, W. H. Van Ossenbercs, Tijdschrift voor Nederlands Indie dan lain-lain, Tetapi tulisan-tulisan itu tidak akan bisa dipisahkan dari pada „pandangan" dan „alam /pikiran asing", dalam menghadapi suatu tanah yang sangat diinginkan supaya pengaruh politik dan kekuasaannya dapat mengusir rasa-rasa kebangsaan clan rasa menentang yang, masih ada didalam kehidupan kita. Dengan demikian bila diselami dalam-dalam, tulisan-tulisan itu inti sarinya tidak lebih dan tidak kurang hanya inti merupakan usaha atau tipu daya, supaya kedudukan mereka disini makin menjadi kuat.
Salah satu bahan yang umumnya dipandang bisa memberi pertolongan banyak, adalah Babad Gianti, sebab didalam kitab tambo ini, membuat segala gerak-gerik yang bertalian rapat dengan lahirnya Jogjakarta. Tetapi berpegang kuat-kuat pada kitab tambo inipun rasanja masih kurang tepat, karena sejarah lahirnja tambo ini sendiri juga sudah tidak murni, sebab pendapat dan pikiran serta apa jang di¬ketahui oleh marhum Kiai Josodipuro, Pujangga di Surakarta, dan beberapa orang lagi Pujangga di Jogjakarta yang sama membantu menulis Babad Gianti, tidak semuanya boleh diumumkannya, sebab lebih dahulu harus mendapat persetujuan dari pihak Vereenigde Oost Indisch Compagnie, pihak yang berkeinginan keras untuk menyembunyikan „noda-noda dan kejelekannja", sebaliknja berkeinginan keras supaya kedudukannya disini dipandang sebagai „panggilan suci, untuk mendidik dan menolong kesulitan-kesulitan Negara dan rakyat Mataram".
Kalau masih ada satu-satunya harapan saya dalam menghadapi kesulitan¬kesulitan itu, adalah meneliti sendiri tentang bekas-bekas atau tempat-tempat yang mempunyai sejarah dalam „sejarah lahirnya Jogjakarta". Tetapi penyelidikan penyelidikan saja kearah itu, juga tidak mendapatkan hasil sebagai yang saya harapkan semula, sebab hampir semua bekas-bekas atau tempat-tempat yang bersejarah dan atau mempunyai hubungan langsung dengan sejarah „lahirnya Jogjakarta" itu kini sama sekali tidak terpelihara, hampir semuanya sudah musnah, dan kalau masih nampak, hanya tinggal kumpulan puing yang sangat menyedihkan. Catatan-catatan yang berkenaan dengan bekas-bekas atau tempat-tempat itu, sama sekali tidak ada, kecuali ceritera-ceritera dari beberapa orang tua yang berumah tangga dikanan-kiri tempat-tempat itu, jang merupakan dongengan-dongengan beraneka-rupa, bahkan yang satu dengan yang lain bertentangan.
Kesulitan-kesulitan yang saya hadapi ini, saya rasa akan dihadapi juga oleh lain-lain orang yang ingin menulis soal-soal yang berhubungan dengan sejarah kita, meskipun tidak demikianlah keinginan saja. Hanya dengan pengalaman-pengalaman ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa didalam kehidupan kita dimasa yang lampau, sangat kurang memperhatikan, akan barang-barang yang merupakan dokumentasi, baik yang berupa tulisan-tulisan, baik yang berupa gambaran-gambaran, maupun yang merupakan monumen-monumen yang langsung mempunyai hubungan dengan sejarah hidupnya orang-orang yang penting dalam masyarakat kita. Tentu saja yang saya maksudkan, bukannya hanya yang mempunjai arti „baik" saja, tetapi meskipun yang „bagaimana juga jeleknya", benda-benda itu tetap berharga bagi sejarah, sebab sejarah tidak dapat ditipu atau disulap; sejarah memberi didikan kepada keturunan kita yang akan datang, untuk meneropong sebab-sebab dan akibatnya cara hidup leluhurnya yang telah lampau, guna menempuh penghidupan dan kehidupan yang akan datang, supaya lebih sempurna dari pada yang pernah dialami dimasa yang lampau.
Demikianlah kesulitan-kesulitan yang saya hadapi dalam mengerjakan beban yang diserahkan oleh Panitia Peringatan 200 tahun Kotapradja Jogjakarta bagian penerbitan. Dengan demikian, kecil sekali harapan saja akan bisa mengisi kekosongan kekosongan jang terdapat didalam sejarah Indonesia pada umumnya dan Jogjakarta pada khususnya.
Wassalam, Penulis.