Beksan Etheng di Keraton Kasultanan Yogyakarta

Beksan Etheng, Beksan Lawung, Tari Bedhaya serta tari Srimpi Renggowati digolongkan sebagai tari-tarian keramat di Keraton Yogyakarta. Pada zaman dahulu tidak boleh dipergelar¬kan diluar tembok istana (kraton).

Tarian ini yaitu tari Lawung dan Etheng serta beberapa tari Bedhaya dan Srimpi dicipta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada abad ke-18. Tari-tarian ini sejak dahulu jarang sekali dipentaskan, kecuali untuk Upacara perkawinan Agung atau menjamu Tamu Agung Raja.

Pada zaman dahulu hingga tahun 1918 dikala pengantin Kraton diboyong ke Kepatihan setelah upacara kepanggih di dalam Kraton, maka pada hari resepsi kedua di Kepatihan yang dihadiri oleh Sri Sultan, beliau selalu membawa Tarian Etheng ini untuk dipergelarkan di dalam Kepatihan.

Pada malam resepsi pertama di mana menurut adat istiadat Kraton Sri Sultan tidak menghadiri upacara tersebut, melainkan beliau mengirimkan sebagai wakilnya yaitu suatu rangkaian beksan Lawung dan beksan Etheng.

Adapun masing-masing beksan tersebut mempunyai rangkaian tersendiri yang terdiri atas :

1. Beksan Lawung Alit atau Lawung Alus;
2. Beksan Lawung Ageng atau Lawung Gagah;
3. Beksan Sekar Meduro atau Beksan Gendul.

Beksan Etheng terdiri atas 12 orang penari yang terbagi sebagai berikut :

1. 4 penari Sawung; dengan ragam tari Kinantang Alus;
2. 4 penari Botoh; dengan ragam tari Kagok Bapang Gagah;
3. 4 penari pelayan (rencang) Botoh dengan tarian bebas.

Nama beksan ini diambil dari nama permainan anak-anak zaman dahulu yang bernama 'etheng', yakni 2 kelompok anak beradu ketangkasan menyentuh tubuh lawan, bagi yang tersentuh tubuhnya dianggap kalah, dan tidak boleh mengikuti permainan selanjutnya.

Dahulu kala para bangsawan membentuk jago-jago biten (adu kekerasan kaki) lari cepat ataupun Etheng, untuk selanjutnya mengadakan perlombaan-perlombaan, dan tidaklah jarang pula disampingnya diadakan totohan atau taruhan. Nah, beksan Etheng ini menggambarkan peristiwa itu.

Oleh karena tarian ini berasal dari dalam Kraton maka para seniman yang mendukung tarian ini adalah para kerabat Kraton dan para, abdi dalem Kraton. Diantara para, penari yang pertama kali menarikan beksan Etheng ini adalah : K.P.H. Brontodiningrat; K.R.T. Wirodiprojo.; R.L. Sosroprawiro; R.L. Atmoprayitno; R.W. Atmonetya; R. Rio Tarunoseputra.

Saat sekarang pengembangan tarian ini dilakukan oleh Bebadan Among Beksa Yogyakarta.

Seperti halnya dengan tari-tarian klasik lainnya Beksan Etheng ini juga memakan waktu yang lama dalam setiap pergelarannya. Kalau secara, utuh ditarikan maka waktu yang diperlukan adalah 2 jam lebih. Disamping itu rasa disiplin hares benar-benar ditanamkan kepada para penari.

Bagi perkembangan sekarang hal-hal seperti itulah yang kadangkala menjadikan faktor penghambat. Disamping para guru tari atau para ahlinya kebanyakan sudah berusia lanjut. Pernah pada tahun 1974 beksan ini dipentaskan oleh Siswo Among Bekso dengan waktu yang dipersingkat kurang lebih 1 (satu) jam.

Pada perkembangannya sekarang beksan ini sudah jarang dipentaskan. Walaupun dipentaskan maka fungsinyapun sudah berubah, bukan untuk pesta perkawinan Agung tetapi dapat untuk acara yang lainnya.

Beksan ini diiringi dengan gending "Tawang Ganjur" Kendangan Ketawang Bedhugan laras Slendro pathet 9. Gending Tawang Ganjur inipun diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Adapun perangnya dengan gendhing "Ayak-ayak" diteruskan "Srepegan" kembali ke Ayak-ayak lagi. Untuk percakapan (dialog) digunakan bahasa Madura bercampur Bahasa Bagongan Kedhaton. Untuk Sawung dengan lagu branyakan dan Botoh dengan lagu Bapang. Para penari dipanggil sesuai dengan namanya sendiri.

Sumber: Petabudaya.com.

My Instagram