19:14

Musim Tebu Berakhir di Gondang Baru

by , in
Musim giling tebu berakhir lebih cepat di Gondang Baru. Siang pada awal Oktober itu, ketika sebagian besar pabrik gula di Jawa masih melakukan aktivitas, tidak terlihat truk-truk pengangkut tebu yang antre masuk ke emplasemen pabrik yang berlokasi di tepi jalan utama Yogyakarta-Solo.
Cerobong besar pabrik telah berhenti mengepulkan asap sisa pembakaran ampas. Roda-roda raksasa penggerak mesin giling diistirahatkan.

Senin (5/10) siang itu, empat pekerja bersama-sama berusaha mengangkat salah satu roda mesin giling dari dudukannya. ”Pabrik ini seperti sengaja dibuat fosil hidup. Dibiarkan tidak diubah sama sekali supaya orang tahu bagaimana pabrik gula dari zaman Belanda,” ujar Sutrisno, salah seorang pekerja.

Para petugas pabrik menggunakan cara kanibal untuk memperbaiki mesin. Suku cadang peralatan mesin mengambil mesin-mesin lama yang sudah tidak dipakai. Suiker Fabrik Gondang Winangoen didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1860. Setelah sempat dijadikan gudang senjata pada zaman Jepang, pabrik tersebut dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.

Seusai menjalani rehabilitasi tahun 1960, pabrik itu berubah namanya menjadi PG Gondang Baru. Secara fisik, pabrik tidak banyak bersalin rupa. Sebagian peralatan produksi dari zaman Belanda masih digunakan. Pabrik masih menggunakan mesin uap penggerak roda pemotong batang tebu buatan Perancis. Dari plakat yang tertempel di tubuh mesin tertulis angka tahun 1884 sebagai tanggal pembuatan.

Di unit penguapan, tungku untuk menguapkan nila (hasil perahan tebu) juga masih menggunakan barang lama. Ada tungku yang tahun pembuatannya tahun 1928. Upaya peremajaan mesin sempat dilakukan tahun 1978, PG mencoba membuat tungku baru.

Namun, menurut para pekerja, mesin baru itu justru kalah jauh dari mesin buatan tahun 1928. PG Gondang Baru pernah mencapai puncaknya pada tahun 1989 dengan produksi hablur mencapai 186.000 kuintal. Namun, saat ini produksi hablur kurang dari 30.000 kuintal.

PG Gondang Baru adalah gambaran nasib pabrik gula tebu yang tidak mampu melawan perubahan. Ironisnya, sebagian pabrik itu statusnya termasuk dalam pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) melalui PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Tercatat, dari 58 pabrik gula di Jawa, sebanyak 52 pabrik gula dimiliki oleh BUMN.

Pabrik gula biasanya memulai musim giling pada bulan Mei, mengikuti musim panen awal tebu. Proses giling tersebut akan berlanjut hingga tebu terakhir dipanen pada Oktober atau November. Namun, baru masuk Agustus, PG Gondang Baru sudah kehabisan bahan baku. ”Praktis masa giling hanya sekitar tiga bulan, sisanya selama tujuh bulan ya diisi dengan perbaikan,” kata Kepala Bagian Umum PG Gondang Baru Bambang Is.

Dari target giling tebu tahun ini sebanyak 1,4 juta kuintal, yang terealisasi hanya 1,04 juta kuintal. Kapasitas pabrik sebenarnya dirancang untuk bisa menggiling 1.600 ton tebu per hari (ton cane day/TCD). Namun, karena kondisi mesin yang tua, realisasi giling hanya di kisaran 1.350 TCD.

Tak pernah untung

Bambang mengatakan, produksi dari tahun ke tahun terus menurun sejalan dengan keberadaan kebun tebu yang semakin terdesak peralihan lahan untuk permukiman maupun industri. Selain karena peralihan lahan, produksi tebu tahun ini juga semakin berkurang akibat anjloknya harga gula tahun lalu. Harga yang jatuh sampai di bawah Rp 5.000 per kilogram menyurutkan minat petani untuk menanam tebu. Mereka memilih beralih menanam padi, palawija, maupun tembakau.

Berdasarkan catatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dari keseluruhan produksi gula yang dihasilkan oleh pabrik di Jawa Tengah, kontribusi PG Gondang Baru hanya sekitar 5 persen. PG Gondang Baru mengolah tebu dari kebun milik petani yang luasnya mencapai 2.500 hektar. Bandingkan misalnya dengan PG Pesantren Baru yang berlokasi di Kediri, Jawa Timur, yang mengolah tebu dari sekitar 10.000 hektar luasan lahan milik petani.

Dengan kondisi produksi yang tidak mampu menutup biaya produksi tersebut, tidak heran jika dalam sepuluh tahun terakhir ini kondisi keuangan pabrik yang berada di bawah naungan PT Perkebunan Nusantara IX itu berada dalam posisi minus. ”Masih minus, sama seperti tahun lalu, kalau dihitung-hitung ya sudah hampir sepuluh tahun ini belum pernah untung,” ujar Bambang.

Namun, sebagai badan usaha milik negara, opsi menutup pabrik adalah pilihan yang sulit diambil. Apalagi pabrik gula tergolong penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada saat musim giling, PG Gondang bisa menyerap 1.000 tenaga kerja yang terdiri atas 700 buruh tidak tetap yang terlibat dalam pengiriman tebu, penimbangan tebu, sampai buruh kepras di kebun. Selain itu, ada 300 pegawai tetap yang harus terus digaji meski pabrik sudah tidak menggiling.

Menurut Bambang, upaya peremajaan sudah dijajaki manajemen pabrik dan direksi. PG Gondang Baru nantinya justru akan lebih banyak mengolah gula mentah (raw sugar) impor daripada menggiling tebu. ”Rencananya pabrik akan bisa menggiling selama 12 bulan penuh di mana delapan bulan untuk mengolah raw sugar dan empat bulannya tebu,” kata Bambang.

Ia merujuk PG Cepiring sebagai contoh pabrik gula tebu yang bisa bertahan hidup juga dengan mengolah raw sugar. Di tengah tekanan kekurangan bahan baku tebu dan kualitas rendeman tebu yang rendah, beralih pada raw sugar seolah menjadi jalan penyelamat. Bambang mengatakan rencana manajemen itu juga sesuai dengan kebijakan pemerintah. Sebagai solusi untuk menutup kegagalan produksi pabrik gula tebu, pemerintah mendorong perbanyakan pabrik gula rafinasi.

Jurus lompat pagar dengan mengembangkan usaha di luar bisnis gula sudah lebih dulu diambil oleh PG Gondang Baru agar bisa bertahan hidup. Sejak 2004, PG Gondang Baru mengembangkan wisata pabrik gula dan museum gula. Lokomotif dan lori yang terakhir kali digunakan untuk mengangkut tebu dari kebun tahun 1990 dihidupkan lagi sebagai kereta wisata.

Tidak hanya itu, perusahaan juga berencana mengembangkan proyek pemeliharaan sapi potong dan sapi perah di lahan pabrik yang tidak terpakai. Manajemen PG Gondang Baru bekerja sama dengan Koperasi Widodo Makmur di Cianjur untuk mendatangkan 1.500 sapi.

Mungkin akan jadi pemandangan yang ironis apabila akhirnya Gondang Baru yang dikenal sebagai pabrik gula berubah menjadi peternakan sapi. Musim giling tebu tampaknya bakal segera berakhir di Gondang Baru.

Sumber: Kompas, 23 Oktober 2009.

19:09

”Menjual” Museum Gula Gondang Klaten

by , in
Ada satu ironi setelah melihat kawasan wisata Candi Prambanan yang selalu ramai pengunjung, terlebih pada saat hari libur sekolah atau nasional. Pengunjung yang datang ke objek wisata di perbatasan antara Kabupaten Klaten (Jawa Tengah) dan Kabupaten Sleman (DIY) itu memang berjubel.
Namun ketika melewati depan Museum Gula Gondang Klaten, yang hanya berjarak sekitar 1 km ke arah timur Candi Prambanan, suasananya terlihat sepi senyap. Pada hari libur pun sepi, apalagi pada hari biasa.

Bisa dikatakan, museum yang diresmikan Gubernur Jawa Tengah (saat itu Soepardjo Rustam) pada tanggal 11 September 1982 ini selalu kesepian. Padahal lokasinya yang menyatu dengan kompleks Pabrik Gula (PG) Gondang Baru ini sangat strategis. Terletak di pinggir jalan raya Yogyakarta-Solo, yang tentu dilalui para wisatawan saat ingin berkunjung ke Prambanan atau ke berbagai objek wisata di Solo dan Yogyakarta.

Apakah ini sudah merupakan nasib museum di mana saja yang selalu sepi dari pengunjung. Seperti nasib Museum Radya Pustaka di pinggir Jalan Slamet Riyadi (jalan utama di Kota Solo), Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang terletak di kawasan Alun-alun Utara, Museum Ronggowarsito di Semarang, dan sejumlah museum-museum lainnya di Indonesia.

Di Museum Gula, kita bisa menelusuri sejarah pabrik gula yang saat itu bernama PG Gondang Winangoen dan berdiri pada tahun 1860. Di masa pendudukan Jepang, pabrik gula ini sempat berhenti berproduksi, dan diubah menjadi pabrik dan gudang senjata bakatentara Jepang. Baru setelah masa kemerdekaan, pabrik gula ini kembali difungsikan lagi, dan tahun 1960 namanya diganti menjadi PG Gondang Baru.

Memasuki ruang museum, kita akan 'dikenalkan' dengan PG Gondang Baru melalui miniaturnya. Juga peta titik lokasi sejumlah pabrik gula di Jawa Tengah. Masuki ruangan kedua, kita dapat melihat berbagai alat pertanian yang digunakan untuk menanam tebu, jenis-jenis tebu, hama-hama pengganggu, dan lain sebagainya.

Di ruangan ketiga, terdapat berbagai peralatan untuk memproduksi tebu menjadi gula pada masa dulu. Dari mulai apa yang dinamakan amperemeter, sekering, trafo, mesin jahit karung, timbangan, dan aneka peranti tempo doeloe lainnya.

Memasuki ruangan berikutnya, kita dapat menyaksikan berbagai foto tradisi upacara selamatan ketika akan memulai giling tebu.Misalnya, upacara selamatan temanten tebu dengan berbagai upacara pendukung lain seperti pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk, penanaman sesaji yang biasanya menggunakan kepala kerbau atau sapi untuk ditanam, demi memohon keselamatan selama masa dan pascaproduksi. Kegiatan itu biasanya dilaksanakan pada bulan Mei hingga September.

Di museum ini, para pengunjung juga dapat dilihat miniatur pabrik gula lain di Jawa Tengah, misalnya PG Tasikmadu (Karanganyar). Ada juga alat transportasi pengangkut tebu bernama kereta lori, yang menjadi pengangkut dari kebun ke pabrik. Hanya saja, saat ini lori hanya digunakan sebagai pengangkut tebu menuju stasiun penggililingan.

Ada salah satu lokomotif uap yang usianya tua dan oleh orang-orang pabrik dinamakan Simbah. Loko uap Simbah ini buatan Jerman (1818). Dulu, Simbah digunakan untuk mengangkut tetes tebu ke Stasiun Srowot untuk kemudian dibawa ke Semarang atau Surabaya.

Wisatawan Asing

Kalau melihat buku tamu dari pengunjung Museum Gula Gondang, sebenarnya ada sejumlah wisatawan asing yang mampir. Ada yang menulis dari Belanda, Jerman, Jepang, Belgia dan Inggris.

Melihat hal ini, sebenarnya museum ini juga bisa 'dijual' pada para wisatawan, baik asing maupun domestik. Hanya saja, diperlukan kreativitas agar lebih banyak wisatawan tertarik mampir ke tempat ini. Misalnya memoles berbagai upacara tradisi menuju musim giling agar mampu menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Tentu berbagai kegiatan tradisi ini dapat dijadikan agenda tetap, kemudian dipromosikan, agar lebih banyak wisatawan dan masyarakat yang tahu.

Perlu juga dikembangkan paket wisata keliling pabrik gula dengan menggunakan lori pada hari-hari di luar masa produksi, sehingga makin menarik minat penguunjung museum untuk memanfaatkannya. Harus diakui, informasi tentang berbagai event dan paket wisata ini kurang dipromosikan kepada masyarakat. Brosur tentang museum ini juga jarang didapatkan di agen-agen wisata.

Untuk lebih mengenalkan objek wisata di Kabupaten Klaten, Dinas Pariwisata setempat bisa membuat paket-paket wisata. Misalnya dengan rute Candi Prambanan-Museum Gula-Desa Wisata Bayat.

Apalagi Bayat mempunyai objek wisata ziarah makam Sunan Bayat di Bukit Tembayat, sentra kerajinan batik di Desa Jarum, sentra kerajinan gerabah di Pager Jurang, atau makam Raden Ronggowarsito di Palar, Trucuk. Bisa juga membangun rute Candi Prambanan-Museum Gula Gondang-Deles Indah (lereng Merapi).

Masih banyak objek wisata potensial di Kabupaten Klaten yang bisa memesona wisatawan. Agar jejaring wisata ini makin meluas, bisa saja Dinas Pariwisata Klaten melakukan kerja sama dengan daerah tetangga, seperti Dinas Pariwisata Surakarta dan dan Dinas Pariwisata Yogyakarta. Misalnya membuat paket wisata mengunjungi museum di tiga kota itu: Museum Radya Pustaka (Solo) - Museum Gula Gondang (Klaten) - Museum Sonobudoyo (Yogyakarta). Berani dicoba?

Penulis: Hamid Nuri, pemerhati masalah kepariwisataan, tinggal di Kotagede, Yogyakarta. Sumber: Suara Merdeka, 27 Januari 2009.

13:13

Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan, Tradisi Budaya di Kulonprogo

by , in
Yogyakarta adalah propinsi dengan kultur kehidupan masyarakat yang lekat dengan seni dan budaya yang sudah dikenal di tingkat nasional bahkan Internasional. Sebuah kegiatan budaya Saparan Rebo Pungkasan di Bendung Kayangan, suatu prosesi adat tradisi merti Bendung Kayangan, di kawasan kelurahan Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulonprogo.

Tradisi ini diselenggarakan secara turun temurun sejak cikal bakal desa setempat yaitu mbah Bei Kayangan membuka desa itu. Namun setelah sempat terhenti selama 15 tahun, sejak 3 tahun terakhir acara tersebut diadakan kembali. Tujuan dari acara tersebut memberdayakan adat, tradisi dan kesenian masyarakat Kawasan Budaya Menoreh sebagai upaya untuk memperkuat identitas dan karakter masyarakat Kulonprogo serta melestarikan keunikan budaya lokal dan kedaerahan sehingga mampu unjuk tampil di tingkat lokal, nasional bahkan internasional.

Tradisi tahunan yang diadakan pada hari Rabu Pungkasan (terakhir) bulan Sapar pada penangalan Jawa atau tepatnya pada penanggalan masehi yaitu tanggal 25 Februari 2009 yang dimulai pukul 10.00 WIB – selesai dengan acara utama:

  1. Kulo Nuwun dari tokoh spiritual untuk petilasan Brawijaya dan Mbah Bei Kayangan Selanjutnya Jamasan Jaran Kepang (Ngguyang Kuda Kepang) yaitu memandikan kuda kepang dengan air mengalir Kali Kayangan & Kali Ngiwo. Jamasan di pinggir Kali Kayangan ini oleh Pemimpin Spiritual Kali Kayangan melalui prosesi doa. Sebelumnya, para penunggang jaran kepang diberi minum dengan air pecrean mBah Bei Kayangan yang diduga mempunyai kharomah untuk bisa menyembuhkan berbagai penyakit, oleh Arel (spiritual bocah) yang kini lagi rame dikunjungi para pencari kesembuhan jasmani maupun konsultasi kehidupan lewat Eyang Dewi. Kuda kepang kibar sebentar di halaman Bendung Kayangan baru selanjutnya masuk sungai tempuran.
  2. Kenduri Saparan (Kembul Sewu Dulur) yaitu acara untuk Mengenang mBah Bei Kayangan, dan lokasi bekas tempat Prabu Brawijaya V melakukan tetirah dalam pelariannya dari Majapahit. Warga membawa berbagai macam makanan dengan hidangan utama Bothok Lele dan Panggang Emas dalam sebuah tenong, berkumpul di dekat Bendung Kayangan dan melakukan doa bersama dipimpin oleh seorang Modin setempat guna mengirim doa bagi para leluhur serta sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rizki-Nya. Dilanjutkan makan bersama makanan yang dibawa warga serta tamu undangan pun diminta makan bersama.
Terdapat pula berbagai acara kesenian pendukung lainnya seperti: Hiburan Kesenian "Makhluk Tunggang" oleh seniman peduli menoreh berbahan lokal yang dimainkan oleh anak – anak Sanggar Bodronoyo.

Berbarengan dengan acara tersebut adalah melukis bersama oleh kurang lebih 30 pelukis peduli menoreh diantaranya Kartika, Godod Sutejo, Harsono, Djoko Sardjono, Dewobroto, kelompok pelukis SELARAS: Ade Kartono, Sumadi, Kamiran Suriyadi, Honno Lette, nJedit, Ledek Sukadi, serta Tokoh – tokoh SANGGAR BAMBU seperti : Soenarto Pr, Narto Mohammad, Mahyar, Achmad Almasih, Totok Buchori, Muryoto, Hartoyo (adapun Kelompok Sanggar Bambu Sendiri akan menyelenggarakan Pameran dalam rangka 50 tahun Sanggar Bambu di Taman Budaya Yogyakarta tanggal 27 Maret s/d 1 April 2009 ).

Tak ketinggalan Pelukis dari Purwokerto, Solo, dan Klaten juga akan ikut memeriahkan acara tersebut. Hasil Melukis Bersama ini nantinya akan dipamerkan di Posnya Seni Godod Jl Suryodiningratan MJ II/ 641 Yogyakarta mulai tanggal 5 – 20 Maret 2009 buka pukul 09.00 – 21.00 WIB.

Acara selanjutnya adalah konsultasi perjalanan hidup dan pengobatan oleh Arel kurang lebih jam 14.00 – 15.00, nantinya akan rutin diadakan pada setiap hari rabu wage di tempat ini mulai jam 14.00 – sore hari.

Begitu beragamnya tersebut sehingga mampu diapresiasi oleh masyarakat luas dalam melestarikan kebudayaan kulonprogo khususnya dan kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya.

My Instagram