Pada Prajurit Kraton Yogyakarta, warna akan dipahami secara simbolis. Sebagai simbol, warna dapat ditemukan antara lain pada pakaian dan bendera (klebet/dwaja). Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna dasar, seperti putih, merah, kuning, hitam dan biru, serta hijau.
Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu di dunia dibagi empat yang disebar di keempat penjuru angin dan satu di tengah sebagai pusat.
Warna juga dibagi empat atau lima. Warna hitam terletak di utara, sementara merah berada di selatan. Warna putih diletakkan di timur, dan barat memiliki warna kuning. Di tengah, sebagai pusat, adalah perpaduan dari berbagai warna tersebut. Masing-masing warna tersebut berasosiasi dengan berbagai hal, seperti sifat, dewa, bunga, serta benda-benda.
Berikut adalah makna beberapa warna yang terdapat pada prajurit Kraton Yogyakarta.
Warna Hitam, Wulung dan Biru
Warna hitam digunakan pada baju dan celana Manggala, baju dan celanaPandhega, baju prajurit Prawiratama, baju sebagian prajurit Nyutra, topi mancungan dari Prajurit Dhaeng.
Pada bendera prajurit Patangpuluh, warna ini menjadi dasar dari bendera Cakragora. Warna ini juga terlihat pada sebutan bendera Nyutra, yaitu Padma-sri-kresna. Kresna bukan saja nama tokoh pahlawan dalam pewayangan Mahabharata, melainkan juga warna hitam, seperti warna badan Sri Kresna.
Warna hitam adalah warna tanah, berkaitan dengan sifat aluamah Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.
Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan misalnya untuk blangkon prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih.
Warnawulung dekat dengan warna hitam, sehingga bermakna sama.
Warna biru, digunakan secara terbatas misalnya pada lonthong prajurit Dhaeng(Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra dan prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Makna dari penggunaan warna ini barangkali dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.
Warna hitam dalam pembagian secara simbolik di Jawa (mancapat) berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandhang (semacam bangau hitam), lautan nila (berwarna indigo atau biru), hari pasaran Wage, serta dewa Wisnu (Soehardi, 1996; 309).
Warna Merah dan Jingga
Merah digunakan pada beberapa pasukan. Pasukan yang menggunakan warna merah paling dominan adalah Prajurit Wirabraja, yang menggunakan warna ini pada topi centhung, baju sikepan, celana, hingga srempang, endhong (yang sekarang).
Pasukan lain yang cukup dominan menggunakan warna merah adalah Dhaeng. Warna merah diterapkan pada hiasan di depan dada, ujung lengan baju, serta plisir pada samping celana. Prajurit Nyutra menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana. Prajurit Ketanggung menggunakan kain merah sebagai pelapis baju.
Prajurit Patangpuluh menggunakan warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit.
Untuk bendera, merah digunakan sebagai motif hias pada bendera Gula-klapa, yang merupakan bendera Kraton Yogyakarta meskipun sekarang dibawa oleh bregadaWirabraja.
Merah sering dikonotasikan dengan keberanian (Brontodiningrat 1978: 15). Dalam hal ini, sesuai misalnya dengan sebutan Wirabraja untuk prajurit yang dikenal sebagai pemberani. Dalam kamus dinyatakan bahwa "wira" berarti 'kendel' (Poerwadarminta 1939: 664) atau 'berani' dan "braja" berarti 'gegaman' atau senjata.
Warna merah penting bagi kebudayaan-kebudayaan di Nusantara sejak lama. Lukisan dinding gua, juga penguburan pada masa Prasejarah menggunakan warna ini dari serbuk batuan hematit. Warna ini juga menemukan makna filosofisnya pada masa Hindu hingga dimodifikasi pada masa Islam yang diwujudkan antara lain dalam warna merah dari bendera Gula-klapa.
Warna jingga atau oranye digunakan untuk baju dalam prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan sering dimasukkan ke dalam warna merah. Oleh karena itu, warna ini memiliki makna pemberani, mirip dengan warna merah.
Dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), warna merah berasosiasi antara lain dengan api, selatan, logam swasa -yaitu campuran antara emas dan tembaga-, burung wulong, lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma (Soehardi, 1996; 309).
Warna Putih
Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak.
Pasukan yang menggunakan warna putih secara dominan adalah prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain menggunakan warna putih untuk celana panjang, yaitu prajurit Ketanggung dan Patangpuluh.
Warna putih juga digunakan sebagai warna dasar bendera Gula-klapa yang dibawa pasukan Wirabraja dan bendera Bahningsari dari Pasukan Dhaeng. Dua pasukan ini berada pada urutan depan dari barisan seluruh pasukan kraton jika sedang melakukan defile.
Di urutan bagian belakang, prajurit Mantrijero menggunakan warna putih sebagai bentuk bulatan di tengah hitam yang merupakan warna dasar bendera. Bendera ini disebut dengan Purnamasidhi, yaitu bulan purnama.
Di Kraton Yogyakarta, warna putih juga digunakan pada plak payung ampeyan KGPH atau Patih yang menyandang nama Pangeran (Isnurwindryaswari 2004:106).
Warna putih berdekatan makna dengan kebersihan atau kesucian. Hubungan antara putih dengan kesucian sudah berlangsung lama dalam sejarah kebudayaan.
Didalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa terdapat abdi dalem yang disebut Pamethakan. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti putih. Pakaian abdi dalem ini berwarna putih. Abdi dalem ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Dalam pembagian warna secara simbolik di Jawa (mancapat), warna putih berasosiasi antara lain dengan arah timur, perak, burung kuntul (bangau), air, santan, haripancawala Legi, serta Dewa Komajaya (Soehardi, 1996; 308).
Warna Kuning dan Emas
Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit kraton; hanya untuk hiasan, seperti hiasan lengan pada prajurit Nyutra. Warna kuning juga merupakan warna dasar dari bendera kedua regu pasukan Nyutra. Salah satunya adalah bendera Podhang Ngingsep Sari. Nama podhang berkaitan dengan warna bulu burung ini yang kuning.
Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan ketenteraman (Brontodiningrat, 1978; 15). Dalam upacara selamatan pada masyarakat Jawa, juga sering dihadirkan nasi kuning sebagai bagian dari sesaji. Hal ini merupakan simbol pengharapan akan keselamatan dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Di Kraton Yogyakarta, warna kuning antara lain hadir pada warna plak payung yang digunakan oleh pangeran sentana, juga payung yang digunakan untuk menaungi makanan dan minuman yang dihidangkan untuk Sultan (Isnurwindryaswari, 2004; 110).
Dekat dengan warna kuning adalah warna emas. Warna kuning emas digunakan misalnya oleh prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji, plisir pada baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan antara Lurah dan prajurit Jajar, sebagaimana terlihat pada pasukan Patangpuluh, prajurit Jagakarya. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan (Herusatoto, 1985; 95).
Warna emas (prada) mengandung makna kemuliaan dan kemakmuran yang dapat meningkatkan kewibawaan raja (Herusatoto, 1985; 95). Sebagai logam mulia, emas merupakan logam yang stabil, tidak mudah bereaksi terhadap unsur-unsur lain. Logam ini juga merupakan logam yang indah, mudah dibentuk, serta langka. Oleh karena itu, emas termasuk logam berharga.
Di Kraton, emas atau prada digunakan untuk mewarnai beberapa bagian bangunan, seperti umpak, tiang, dan sebagainya, untuk tempat-tempat yang disinggahi oleh Sultan. Selain itu, warna emas juga terdapat pada payung kebesaran Sultan, KanjengKyai Tunggul Naga (Isnurwindryaswari, 2004; 110). Banyaknya warna prada pada lambang-lambang kerajaan disebabkan karena warna ini menimbulkan kultus kemegahan (Moertono, 1985; 73).
Warna kuning dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), antara lain berasosiasi dengan udara, arah barat, emas, burung podhang, lautan madu, hari Pon, serta Dewa Bayu (Soehardi, 1996; 309).
Warna hijau
Warna hijau, digunakan antara lain pada sayak Lurah prajurit Patangpuluh. Pada bendera, muncul pada warna bendera Pareanom, serta bendera Papasan. Warna kedua bendera ini meniru warna buah-buahan. Warna ini adalah simbol pengharapan (Brontodiningrat, 1978; 15).
Sumber : Buku Prajurit Kraton Yogyakarta, Filososfi dan Nilai Budaya yang Terkandung di dalamnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta, 2008.