13:20

Misteri Candi Borobudur, Ceplok Teratai di Danau Purba

by , in
Boleh percaya, boleh tidak: Candi Borobudur ternyata dibangun di atas sebuah danau purba. Dulu, kawasan tersebut merupakan muara dari berbagai aliran sungai. Karena tertimbun endapan lahar kemudian menjadi dataran. Pada akhir abad ke VIII, Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra lantas membangun Candi Borobudur, dipimpin arsitek bernama Gunadharma, selesai tahun 746 Saka atau 824 Masehi.

Hasil kajian geologi yang dilakukan Ir Helmy Murwanto MSc, Ir Sutarto MT dan Dr Sutanto dari Geologi UPN 'Veteran' serta Prof Sutikno dari Geografi UGM membuktikan, keberadaan danau di kawasan Candi Borobudur memang benar adanya. Penelitian itu dilakukan sejak 1996 dan masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan, tahun 2005, penelitian tentang keberadaan danau purba itu oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah, CV Cipta Karya dan Studio Audio Visual Puskat, dibuat film dokumenter ilmiah dengan judul 'Borobudur Teratai di Tengah Danau'.

Hipotesa kawasan Candi Borobudur merupakan danau, pertama dikemukakan seniman-arsitek Belanda, Nieuwenkamp, tahun 1930. Dalam bukunya berjudul 'Fiet Borobudur Meer' (Danau Borobudur), dikemukakan, Candi Borobudur diimajinasikan sebagai Ceplok Bunga Teratai di tengah kolam. Kolam tersebut berupa danau. Karena morfologi di sekitarnya dikelilingi pegunungan Menoreh dan gunung api.

"Tapi hipotesa itu dianggap ilusi belaka oleh Van Erp, yang memimpin pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1907-1911. Bahkan dianggap sebagai pendapat yang ngayawara, karena tidak didukung bukti-bukti kuat seperti prasasti tentang adanya danau di kawasan itu," kata Helmy kepada KR di Laboratorium Mineralogi dan Petrologi UPN 'Veteran' Yogya.

Hipotesa itu pada akhirnya menarik perhatian para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Tak terkecuali Helmy dan kawan-kawan. Sebagai orang geologi yang berasal dari Muntilan, Helmy merasa tertantang untuk melakukan
penelitian serupa sejak 1996. "Yang kita teliti adalah endapan lempung hitam yang ada di dasar sungai sekitar Candi Borobudur yaitu Sungai Sileng, Sungai Progo dan Sungai Elo," katanya.

Setelah mengambil sampel lempung hitam dan melakukan analisa laboratorium, ternyata lempung hitam banyak mengandung serbuk sari dari tanaman komunitas rawa atau danau. Antara lain Commelina, Cyperaceae, Nymphaea stellata, Hydrocharis. "Istilah populernya tanaman teratai, rumput air dan paku-pakuan yang mengendap di danau saat itu," katanya.

Penelitian itu terus berlanjut. Selain lempung hitam, fosil kayu juga dianalisa dengan radio karbon C14. Dari analisa itu diketahui endapan lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun. Tahun 2001, Helmy melakukan
pengeboran lempung hitam pada kedalaman 40 meter. Setelah dianalisis dengan radio karbon C14 diketahui lempung hitam itu berumur 22 ribu tahun. "Jadi kesimpulannya, danau itu sudah ada sejak 22 ribu tahun lalu, jauh sebelum Candi Borobudur dibangun, kemudian berakhir di akhir abad ke XIII," katanya.

Kenapa berakhir, kata Helmy, karena lingkungan danau merupakan muara dari beberapa sungai yang berasal dari gunung api aktif, seperti Sungai Pabelan dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, Sungai Progo dari Gunung Sumbing dan Sindoro. Sungai itu membawa endapan lahar yang lambat laun bermuara dan menimbun danau. Sehingga danau makin dangkal, makin sempit kemudian diikuti dengan endapan lahar Gunung Merapi pada abad XI. Lambat laun danau menjadi kering tertimbun endapan lahar dan berubah menjadi dataran Borobudur seperti sekarang.

Menurut Helmy, pada saat dilakukan pengeboran, endapan danaunya banyak mengeluarkan gas dan air asin. "Tapi lambat laun tekanannya berkurang, dan sekarang kita pakai sebagai monumen saja," katanya.

Ditargetkan, pada penelitian berikutnya akan diteliti luasan danau kaitannya dengan sejarah perkembangan lingkungan Borobudur dari waktu ke waktu, mulai air laut masuk sampai laut tertutup sehingga berkembang menjadi danau, kemudian danau menjadi rawa dan menjadi dataran.

Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat, 6 Februari 2007.
10:08

Candi Kalasan, Masterpiece of the VIII Century

by , in
This temple of Kalasan is located in Kalibening hamlet, village of Tirtomartani, Kalasan district, Sleman regency. It stands visibly, 20m away, from the Jogjakarta-Solo highway, at the 13th km, surrounded by local dwellings. The location is easily reached by car or public transport. The temple is maintained by the Office of Archeological Services (Kantor Sejarah Peninggalan Suaka Purbakala, or SPSP) of Jogjakarta. A contribution is required upon entrance.

This impressive temple, on account of its size and decorations, is thought by archeologist to be one of masterpieces of its time. Its base is a rectangle of 45m sq wiyh protrusions in the form of Greek crosses. Its roof is an octagonal prism with one large stupa and 52 stupikas around it. Two side chambers are almost completely in ruin, one has literally no ornaments left, and only the last one, to the south, retains its decarations. At the facade you can see the most beautiful Kala motives in the region; the monster heads are a strange mix of animal and luxurious plants. The Kalas, celestial elements, are in opposition with the Makaras, which are aquatic elements. Notice the top of Kala heads surrounded by divine musicians.

Kalasan is constructed from andesites and retains its vajralepa (stucco layering), which was done skillfuly and with great care. There are many niches that once housed statues, many of which are now missing, but we can still admire the large number of bas-relief representing the Dhyanis Buddha as well as the lotus-carrying goddesses. An extraordinary world inhabits the temple: flowers, leaves, musicians carrying their instruments, elephants, lions, and so forth. You can enter the sanctuary that once must have housed a large bronze statue of Buddha.

An inscription discovered nearby make a reference to Buddhist priest asking the Sailendra dynasti, then in power, to build a shrine in honor of the goddess Tara as well as a monastery in 700 Caka year, or 778. It is this year that is retained as the constructing date of the temple, although it might well be that it was renovated many times since. It is interesting to notice that the cult of Tara Bodhisattva coming from India, made its first appearance in South-East Asia here and have been popular in Tibet.

Kalasan was renovated and excavated from 1927 to 1929 by the Dutch archeologist Van Romondt. Don’t leave without making a tour of the fragments around the temple: it gives the detail of the temple’s reliefs.

The locals believe that the guards of the temple are a great serpent and a beautiful woman. But until now these guards have never disturbed the human being that live around the temple. To protect themselves from these creatures, the villagers make offerings of flowers and food, especially for wedding and circumcision ceremonies. Another legend is about the stucco that covers the temple: it is believed to be made of egg whites protecting the temple from the weather.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

10:10

Candi Sambisari, The Sunken Temple of Shiva

by , in
The temple is situated in the Sambisari hamlet, village of Purwomartani, Kalasan district, Sleman regency. It is easy to reach either by bus or by car: Take the highway that leads to Solo and turn left (north) at the 10th km. Go straight north on the asphalt road. Motorbike-taxis (ojek) are available at the junction to take you to the site. A ticket box stands at the entrance, where you pay the entrance fee.

This temple was discovered by a villager in 1966, but was not entirely excavated until 1987. It has the peculiarity of standing 6m under ground level, perhaps due to an eruption of Mount Merapi. Today the site is an agreeable place resembling a public park where students, lovers, or mothers go for a walk. The site is composed of a sanctuary and three secondary temples (perwara) facing it. The principal sanctuary faces west and its shape on the ground is a perfect square of 13.65x13.65m, 7m in height. The temple is rare for not having a proper foot; the base was its foot. It is surrounded by niches with Kala heads above tham, all housing the statue of Durga (at the north), Ganesha (at the east), and Agastya (at the west). At each side of the entrance, the empty niches once housed the statue of the guardians Mahakala and Nandiswar, now stolen. In the interior, a yoni (facing north) with ornaments of a naga and its lingga stands intact.

In front of the sanctuary, the secondary temples have lost their roofs, but a pedestal ornamented of a lotus flower is still visible in two of the temples. Notice, at the terrace, the presence of twelve stones in the form of flat mounds around the sanctuary (8 rectangular and 4 round ones) that could be the plinths of wooden pillars.

The temple is surounded by two entourages of white stone. The first, of a dimension of 50x48m, has four doors (the one facing north was discovered closed, without it being known why) and the terrace that it forms is girded by 8 linggas. The second entourage is not entirely unearthed, but we can see the whole of its north face. It is estimated, considering the statuary, that the temple is of the Shivaist Hindu religion and that the construction was in the IXth or Xth century, which makes it a contemporary of the Prambanan, Plaosan, and Sojiwan temples. Finally, don’t miss the very beautiful fragments of statues conserved at the pavilion at the left of the park’s entrance. The temple is until today used as a place of worship for the Hindu of the region.

It is said that a kyai (Muslim priest) appears in thr dreams of a villager named Karyowinangku, saying,”There is stone in your land”. A week afterwards the villager plowed his land and found seven stones. After observation by specialists, these stones was found to be part of the temple, Karyowinangku is of the opinion that the kyai was the spirit of his grandfather.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

10:03

Situs Ratu Boko, The Palace of Legend

by , in
This site basically has two different kinds of buildings: the sacred and the profane. According to the Abayagiri Wihara inscription found on the site, dating from the Caka year 714, or 792 A.C., the Boko Palace is a Buddhist monastery built by Tejahpurnapana Panamkarana. The evidence is strengthened by the findings of stupas, gold plates with inscriptions of Buddhist mantra and Bodhisattva statues. Archeologists also believed that the Ratu Boko site was a once a palace belonging to the Anchient Mataram dinasty. It is also mentioned in the epic of Balaputradewa, a Buddhist king of the dinasty, who built a hilltop fortress in an attempt of defense against the attack of Rakai Pikatan.

Although there is a strong indication that the Ratu Boko temple is of Buddhist origin, there is interesting and controversial evidence of Hindu remains in the form of lingga, yoni, Ganesha, and Durga Mahissasuramardini. According to the Pereng inscriptions, of 856 A.C., the complex was a palace of local Hindu ruler called Rakai Walaing Pu Kumbhayani. Thus, the function of the complex is so far undiscovered, and a short visit will only give a glance. We recommended sparing time to visit the following sites.

Alun-alun. One of the ruins is a site called alun-alun (town squre). Following the path leading to the site, you will notice foundations of large white stones at its left. The site has a pair of entrance gates (gapura) of andesite. The first has three doors and the second, behind several stone steps, has five. The alun-alun is composed of two squares, measuring 170x20m each and surrounded by a 1,5m-wide pit. On the stone terraces you can see a group of plinths in neat formation, indicating that there was once a pillared building on top, perhaps a pendopo (reception hall). Not far from the plinths there is a brick-and-cement well built by locals, preserved to indicate that the location of the alun-alun was in the recent past inhabited.

Crematory Temple. On the vast ground, you will see a tall platform, bordered by steps, surrounded by parapets and equipped with a basin of white stones. This construction measures 25x10m at the base and 1.5m in height. It functioned as a crematorium for the dead, as practice in the hindu tradition.

Audience Hall. To visit the ruins of the palace, you have to continue to the right (west), through the Dawung village. The site is constructed of two rectangular esplanades of 20x25m, a meter in height, made of andesite rocks. These are thought to once function as a waiting room before an audience with the king. About 10m to the south lies another door in ruin and half destroyed, which is thought to be part of the entourage of the Ratu Boko palace.

Pendopo. To the south of the paseban, through a bit of a teak forest, we will face a pendopo (audience hall) surrounded by a high rock fence of white and andesite rock with three entrance gates. The 40mx30m rectangle of stone blocks retains the plinths of the pillars of a wooden construction it used to support. A part of its floor has larger rocks, which indicates where the wood pillars once stood. The structure has waterspouts, or jaladwaras, outside its fence. Inside the fence there are two separated rooms: Batur Pendopo (10x10m) and Batur Pringgitan (4x10m), connected by a narrow opening with a downward flight of steps.

Miniatur Temple. At the west of the pendopo fence there is an altar of 10x10m with three little gates at one side. The gates, standing side by side, are not higher than 1m and symbolize the three Hindu goods: Brahma, Shiva, Vishnu. The building is often called the miniature temple and is thought to function as a place of worship.

Keputren Pool (Princess' Bath). The most intersting element of the Ratu Boko complex is located at its eastern side, consisting of a group of pool called Keputren (literlly “ladies’ quarters”); some of them still contain water. Some of the pools are cavities dug into the white rocks and lime while others are rectangular pool, sometimes with kala-ornamented gates. You will have a better view stepping onto one of the platforms boerdering them. Fragments of sculputures and bas-reliefs can be found around the pools: elephants, birds, and snakes. Near the bath, stupas are visible; some whole and ithers in ruin. It was here that the Bodhisattva statue, now kept at the Office of Archeologaical Services, was found.

The Lanang and Wadon Caves. To the south of the complex there are two artificial caves called Lanang (male) and Wadon (female). The white-stone Lanang cave, the one situated higher, is larger (about 3m long). The names of these caves come from the discovery of, respectively, a lingga and a yoni inside of them. The caves, until today a place of meditation and contemplation, are eqiupped with a well for washing before prayers. Men will meditate in the Lanang cave and women in the Wadon.

The complex of Ratu (King) Boko site is popularly believed to be royal palace of a king who had the habit of eating human flesh. The habit started in his infancy, when his mother cut herself during cooking. Tasting the blood in the food, he found it so delicious he developed a penchant. As an adult and a king, he sent one soldier every day to find a human prey. If the soldier failed, the king would devour him. The people were terrorized and fled to the neighboring kingdom Pengging, whose king of Pengging tried to find a solution and finally decided to send his son Bandung Bondowoso to fight Boko. After an insight from God and a ferocious battle of ten days, Bandung defeated Ratu Boko.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

10:01

Candi Barong, The Twins on the Hill

by , in
This temple overhangs that of Banyunibo, thus you have to follow the same directions: on the Jogjakarta-Solo highway, at the Prambanan intersection, turn right (south) to the direction of Piyungan. After 3km, you will find a signpost indicating the direction of the Banyunibo, Barong, and Ratu Boko temples. Follow the direction to the Cepit hamlet, Bokoharjo village, Prambanan district. The Barong temple is on top of a 200m-high hill.

The site is comprised of two separate terraces. The first terrace is empty, with its sides bordered by stones that are thought to once support a wooden construction. On the second terrace stand the two temples called Barong or “Sari Sosro Gedug”. Uniquely, the two temples are almost identical and both have no entrance. Each side shows similarity in decorative pattern and variations. Each of the temple bodies sits on a base of three steps, and has four niches, one on every side. Every niche, decorated by a makara motif in the form of barong is believed to once house a statue. The temple’s roof is of three ornamented tiers resembling those on the Ijo temple.

Based on the form and types of decorative patterns and the findings of Sri and Laksmi statues, it is believed that this temple is of Hindu origin and was built in the IXth century. These marvelously located temples must have been much revered and were part of a sacred complex of terraces of which they were the crowns.

From afar the Barong temple resembles a twin building because of its similar main temples. There is a serene view of the valley at the south and west of the temple, with blocks of yellow and green rice fields. To the southwest, the dark, tiny Banyunibo temple is visible.

At 50m to the north of the Barong temple lies the Dawangsari site, which is an array of andesite stones sprawled at the plane of the hill. The blocks of rocks are poor in motifs and decorations. It is thought that the site was part of a destroyed stupa. The Dawangsari site seems to be Buddhist, although situated near the Hindu temple of Barong.

The temle is called Barong because of the Barong head ornament on the entrance gate of the complex. According to the locals, remnants of accessories and decorative objects, incuding an inscription on gold plate, were found in the main temples at the beginning of the restoration.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

18:08

Makna Filosofis Kain Bermotif pada Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta

by , in
Selain dibedakan atas warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan busana prajurit juga menggunakan motif tertentu, diantaranya batik, lurik, atau cindhe.

Batik digunakan oleh para Manggala, Wadana Ageng, Pandhega (Bupati enem), Panewu Bugis juga mengenakan kain batik. Prajurit lain yang mengenakan adalah Surakarsa dan Miji Jager.

Penggunaan batik (yang rumit dan relatif mahal dibanding dengan kain polos) untuk para pimpinan menunjukkan adanya hirarki secara simbolik. Kain batik dengan ragam hiasnya yang bervariasi tersebut memiliki lebih banyak makna daripada sekedar kain polos.

Lurik dikenakan sebagai baju luar untuk pasukan-pasukan Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Miji Jager, Patangpuluh, dan Langenastra, baik untukLurah Parentah maupun untuk Prajurit Jajar.

Kain lurik bukanlah kain semahal batik dan filosofisnya juga tidak sesarat kain batik. Kain ini cenderung digunakan untuk pakaian sehari-hari seperti surjan atau pranakan. Oleh karena itu, makna kain ini cenderung kepada kesederhanaan, kesetiaan dan kejujuran.

Motif lurik yang digunakan sebagai pakaian seragam prajurit kraton dinamakan Lurik Ginggang yang berarti renggang karena antara lajur warna yang sama diisi oleh lajur warna yang lain. Namun makna yang lebih dalam lagi adalah kesetiaan prajurit kepada rajanya, serta hubungan antar prajurit jangan sampai ada kerenggangan.

Warna lurik yang mendekati abu-abu (abu = awu Jw.) melambangkan kasih sayang dan restu raja terhadap prajurit laksana abu yang tidak dapat dibakar api. Meskipun demikian, terdapat motif lurik yang berbeda di antara pasukan-pasukan tersebut. Dalam hal ini, perbedaan motif dapat dianggap bermakna indentitas.

Motif cindhe digunakan untuk celana panji-panji, lonthong (misalnya untuk manggala, prajurit Ketanggung, prajurit Patangpuluh, dan prajurit Mantrijero), serta bara (misalnya untuk Manggala, Prajurit Patangpuluh, Mantrijero).

Cindhe sendiri merupakan motif tekstil pengaruh dari India. Penggunaan motif ini dapat bermakna teknis sebagai aksen dari kain-kain polos dan batik. Motif ini biasanya berdasar warna merah. Penggunaan warna ini cenderung kepada makna keberanian yang disandang oleh para prajurit.

Sumber : Buku Prajurit Kraton Yogyakarta, Filososfi dan Nilai Budaya yang Terkandung di dalamnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta, 2008.

10:06

Watugudig, King Boko’s Resting Place

by , in
The Watugudig site is located 2km to the south of the Prambanan, at the Watugudig hamlet, village of Bokoharjo, Prambanan district. To reach it, turn right (south) at the Prambanan junction on the Jogjakarta-Solo highway, going to the direction of Piyungan for 2km. At the foot of the hill of Ratu Boko there is a litte road turning right with signpost indicating the site. The location is 50m from the road.

Watugudig is a group of umpak or pole sitting with variuos dimensions, the largest being 80cm in diameter. This group of umpaks is made of andesite rocks, scaterred on an area of about 200m sq. The form of umpak is like a Javanese gong, with a protruding part in the middle. There are about 40 umpaks, and it is thought that there are still many others burried.
From the spreading of the umpaks, it is likely that the place was a pendopo (hall) with wooden pillar and roof, which are now vanished. Fro the similarty of pattern on the umpaks found in near locations, these are believed to date from the VIIIth-IXth century, at the epoch of the Ratu Boko palace.

Watugudig means “wound stones”, reffering to the stones’ abscess-resembling appearance. The locals believe that they are the ruins of a resting place for the King Boko of the nearby palace.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

09:58

Candi Banyunibo, The Mith of Gold in the “Valley of Dripping Water”

by , in
From Jogjakarta, take the highway that goes to Solo, then turn rigt (to the south) at the Prambanan intersction to the direction of Piyungan. After three kilometers you will find a signpost indicating the temples of Banyunibo, Barong, and Ratu Boko. Take the left (east) turn anf follow the directions to the Cepit hamlet, Bokoharjo village. The temple stands in the middle of rice fields, 150m to the hills. It is accessible by most kinds of public transport, especially the bus, from Jogjakarta: get off at the Prambanan intersection and take a minibus to the direction of Piyungan until the Barong intersection; you can walk remaining 1.5km or take a motorbike-taxi (ojek). A fee is collected upon entrance.

From after the Banyunibo temple resembles a small dark building among puzzle pieces of rice fields. Light in dimensions (15.3x14.25m at the base, 15.3m in height), the temple is harmonious in form. There is a watersout (jaladwra) on each corner of the temple. The north, east, and south sides of the temple’s main sanctuary have niches that must have housed statues, which have never been found. The outside walls are decorated with Buddhist notifs representing the Dhyanis Budha (Ratnasambhava, Amoghasiddhi, and Vairochana). Six secondary temples in the form of stupas, not yet reconstructed, stand to the east and the south of the main temple.

From the style of its statues and its architecture, this temple is believed to date from the IXth century and is of the Buddhist origin although found near Hindu fragments. 100m from the temple, on the plateau, villagers find walls of white stone across which they make openings. Half of the houses in the village seenm to be built on archeological remains.

Like all others sacred places, Banyunibo is often used as a place of meditation and contemplation. The name of Banyunibo means ‘dripping water’. It is said that once there was a river carrying gold that ran from the top of the hill. The keeper of the temple, Bapak Kardi, told that many of the village’s elder had heard that the river running from the Boko hill and crosses the Banyunibo hill carried gold. Mediums have often ‘seen’ an immense mass of gold under the temple.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

09:46

Candi Sari, The Amazing Decoration of the Tara Monastery

by , in
This temple is located in the Candi Sari hamlet, village of Tirtomartani, Kalasan district. It is very easy to reach this passionate site, whether or not you have a vehicle. It is exactly on the 15th km of the jogjakarta-Solo highway, at the left (north) side of the road in front of a restaurant (Ayam Goreng), just after a telecommunication office. The temple is 50m from the street. A fee is collected at the entrance.

The restoration of this temple, taking place in the 1929-1930, succeeded to bring back its splendor. Situated near Candi Kalasan and also of Buddhist origin, it is agreed to be of the same age (between the VIIIth and IXth century). Its architecture, however, is completely different. Rectangular in base (17.3x30m), the 17m-tall edifice of andesite is constituted of three cells divided i two tiers by what used to be a wooden plank (the spot of the beams are still visible). The presence of the upper tiers and tracers of use indicated that the temple was a place abode. It is often presented as a Buddhist monastery that is part of a larger complex. The base of the building, as well as the doors, has disappeared, and the roof, although damaged, retains three stupas and numerous niches decorated with kala-makara.

Windows are built around the temple, with the exeption of the west side because of the Buddha and Bodhisattva statues (unfortunately gone, but the footings remain) that must have stood on the three cells. The temple is decorated with talent: there are 36 large figures (12 on the west and 8 on the other three sides) represented in relief on the exterior walls, still covered with stucco (vajralepa), but some of the figures are difficult to recognize: half-gods, Naga kings, masculine and feminine divinities following the Tribangga rules, some of which are reminiscent of Tara, the bodhisattva consecrated at Kalasan. Notice the Kinara-Kinari (bird-angles) near the windows and the elephant friezes at each side of the door, also the two guardian statues of Dwarpala and Gupala at the entry.

It is said that temple, or the sanctuary to be exact, was inhabited by two women, Nyai Copati and Nyai Nyowati, who guard it against human and natural destruction. Visitors from places like Jogjakarta, Solo, Boyolali bring offerings of flowers and incenses for the two guardians.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

19:08

Makna Filosofis Nama-nama Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta (2)

by , in
Prajurit Nyutra

Nama Nyutra berasal kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti 1) 'unggul', 2) lulungidan (ketajaman), 3) 'pipingitan/'sinengker’(Winter, K.F., 1928, 233,266); sedang dalam bahasa Jawa Baru berarti 'bahan kain yang halus'; sedangkan awalan N- berarti 'tindakan aktif sehubungan dengan sutra'.

Prajurit Nyutra merupakan prajurit pengawal pribadi Sri Sultan. Prajurit ini merupakan kesayangan raja, selalu dekat dengan raja. Secara filosofis Nyutra bermakna pasukan yang halus seperti halusnya sutera yang menjaga mendampingi keamanan raja, tetapi mempunyai ketajaman rasa dan ketrampilan yang unggul. Itulah sebabnya prajurit Nyutra ini mempunyai persenjataan yang lengkap (tombak, towok dan tameng, senapan serta panah/jemparing). Sebelum masa Hamengku Buwono IX, anggota Prajurit Nyutradiwajibkan harus bisa menari.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Nyutra adalah Podhang Ngingsep Sari dan Padma-sri-kresna. Podhang Ngingsep Sari untuk Prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Padma-sri-kresna untuk Prajurit Nyutra Hitam berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hitam.

Podhang Ngingsep Sari berasal dari kata podhang berarti 'kepodang (jenis burung dengan bulu warna kuning indah keemasan)', ngingsep = 'mengisap', dan sari = 'inti, sari'. Secara filosofis Nyutra Merah bermakna pasukan yang selalu memegang teguh pada keluhuran.

Padma-sri-kresna berasal dari tiga kata bahasa Sansekerta, yaitu: "padma" berarti 'bunga teratai', "sri" berarti 'cahaya, indah', dan "kresna" yang berarti 'hitam'. Secara filosofis Nyutra Hitam bermakna pasukan yang selalu membasmi kejahatan, seperti Sri Kresna sebagai titisan Dewa Wisnu.

Prajurit Ketanggung

Nama Ketanggung berasal kata dasar "tanggung" mendapatkan awalan ke-. Kata "tanggung" berarti 'beban, berat". Sedangkan ke- di sini sebagai penyangatan 'sangat'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Puliyer (Wirawicitra / Wirawredhatama / Operwachmester).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Ketanggung adalah Cakra-swandana, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah gambar bintang bersegi enam dengan warna putih.

Cakra-swandana berasal dari bahasa Sansekerta "cakra" (senjata berbentuk roda bergerigi) dan kata Kawi "swandana" yang berarti 'kendaraan/kereta'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan yang membawa senjata cakra yang dahsyat yang akan membuat porak poranda musuh.

Prajurit Mantrijero

Nama Mantrijero berasal kata "mantri" dan "jero". Kata "mantri" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'juru bicara, menteri, jabatan di atas bupati dan memiliki wewenang dalam salah satu struktur pemerintahan'. Sedangkan “jero" berarti 'dalam'.

Secara harfiah kata Mantrijero berarti 'juru bicara atau menteri di dalam' Secara filosofis Mantrijero bermakna pasukan yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian dalam memutuskan segala sesuatu hal dalam lingkungan Kraton (pemutus perkara).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Mantrijero adalah Purnamasidhi, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna putih. Purnamasidhi berasal dari kata Sansekerta, yaitu "purnama" berarti 'bulan penuh' dan kata "siddhi" yang berarti 'sempurna'. Secara filosofis Purnamasidhi bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.

Prajurit Bugis

Nama Bugis berasal kata bahasa Bugis. Prajurit Bugis sebelum masa Hamengku Buwono IX bertugas di Kepatihan sebagai pengawal Pepatih Dalem. Semenjak zaman Hamengku Buwono IX ditarik menjadi satu dengan prajurit kraton, dan dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan. Secara filosofis Prajurit Bugis bermakna pasukan yang kuat, seperti sejarah awal mula yang berasal dari Bugis, Sulawesi.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning emas. Wulan-dadari berasal dari kata "wulan" berarti 'bulan' dan "dadari" berarti 'mekar, muncul timbul'.

Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan penerangan dalam kegelapan, ibarat berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap yang menggantikan fungsi matahari.

Prajurit Surakarsa

Nama Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata "sura" berasal dan bahasa Sansekerta berarti 'berani', sedangkan "karsa" berarti 'kehendak'. Dahulu Prajurit Surakarsa bertugas sebagai pengawal Pangeran Adipati Anom / 'Putra Mahkota'; bukan bagian dari kesatuan prajurit kraton.

Secara filosofis Surakarsa bermakna pasukan yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan putra mahkota. Sejak masa Hamengku Buwono IX, pasukan ini dijadikan satu dengan prajurit kraton dan dalam upacara Garebeg mendapat tugas mengawal Gunungan pada bagian belakang (Yudodiprojo, 1995).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning.

Pareanom berasal dari kata "pare" (tanaman merambat berwarna hijau yang buahnya jika masih muda berwarna hijau kekuning-kuningan), dan kata "anom" berarti 'muda'. Secara filosofis Pareanom bermakna pasukan yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.

Sumber : Buku Prajurit Kraton Yogyakarta, Filososfi dan Nilai Budaya yang Terkandung di dalamnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta, 2008.
18:51

Makna Filosofis Nama-nama Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta (1)

by , in
Prajurit Kraton Yogyakarta saat ini terdiri atas 10 bregada. Perbedaan antar bregada yang satu dengan yang lain ditentukan menurut atribut panji-panji (bendera), busana, dan kelengkapannya.

Nama-nama bregada/ pasukan itu adalah Prajurit Wirabraja, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagakarya, Prajurit Prawiratama, Prajurit Nyutra, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero, Prajurit Bugis, dan Prajurit Surakarsa.

Semua nama bregada prajurit, mode atribut panji-panji, warna busana, dan kelengkapan dalam prajurit Kraton Yogyakarta mempunyai makna filosofis. Berikut akan diberikan analisis makna filosofis atas nama, mode jenis panji-panji, dan warna busana itu.

Prajurit Wirobrojo

Nama Wirabraja berasal dari kata wira berarti 'berani' dan braja berarti 'tajam', kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta. Secara filosofis Wirabraja bermakna suatu prajurit yang sangat berani dalam melawan musuh dan tajam serta peka panca inderanya. Dalam setiap keadaan ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia akan pantang menyerah, pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan.

Dengan nama kuno dari bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandungan maknanya mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota pasukan ini.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan centhung berwarna merah seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya adalah segi empat berwarna merah dengan pada bagian tengahnya adalah segi delapan berwarna putih.

Gula-klapa berasal dari kata 'gula' dan 'kelapa'. Yang dimaksud di sini adalah gula Jawa yang terbuat dari nira pohon kelapa yang berwarna merah; sedangkan 'kelapa' berwarna putih. Secara filosofis bermakna pasukan yang berani membela kesucian/kebenaran.

Prajurit Dhaeng

Nama Dhaeng berasal dari bahasa Makasar sebagai sebutan gelar bangsawan di Makasar. Secara filosofis Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah berani seperti prajurit Makasar pada waktu dahulu dalam melawan Belanda.

Menurut sejarah, prajurit Dhaeng adalah prajurit yang didatangkan oleh Belanda guna memperkuat bala tentara R.M. Said. R.M. Said kemudian berselisih dengan P. Mangkubumi. Padahal kedua tokoh ini semula bersekutu melawan Belanda. Puncak atas perselisihan itu adalah perceraian R.M. Said dengan istrinya.

Istri R.M. Said adalah putri Hamengku Buwono I. Pada waktu memulangkan istrinya, R.M. Said (P. Mangkunegara) khawatir jika nanti Hamengku Buwono I marah. Guna menjaga hal yang tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, Kanjeng Ratu Bendara diminta agar diiringkan oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit Dhaeng.

Setelah sampai di Kraton Yogyakarta, justru disambut dengan baik. Prajurit Dhaeng diterima dengan tangan terbuka, disambut dengan baik. Atas keramahtamahan itu prajurit Dhaeng kemudian tidak mau pulang ke Surakarta. Mereka kemudian mengabdi dengan setia kepada Hamengku Buwono I. Laskar Dhaengkemudian oleh Hamengku Buwono I diganti menjadi Bregada Dhaeng.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Dhaeng adalah Bahningsari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya adalah bintang segi delapan berwarna merah.

Bahningsari berasal dari kata bahasa Sansekerta bahningberarti 'api' dan sari berarti 'indah / inti'. Secara filosofis bermakna pasukan yang keberaniannya tidak pernah menyerah seperti semangat inti api yang tidak pernah kunjung padam.

Prajurit Patangpuluh

Mengenai asal usul nama Patangpuluh sampai sekarang belum ada rujukan yang dapat menjelaskan secara memuaskan. Nama Patangpuluh tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Patangpuluh adalah Cakragora, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah bintang segi enam berwarna merah.

Cakragora berasal dari kata bahasa Sansekerta "cakra" 'senjata berbentuk roda bergerigi' dan "gora", juga dari bahasa Sansekerta berarti 'dahsyat, menakutkan'. Secara filosofis bermakna pasukan yang mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apa pun akan bisa terkalahkan.

Prajurit Jagakarya

Prajurit Jagakarya berasal kata jaga dan karya. Kata 'jaga' berasal bahasa Sansekerta berarti 'menjaga', sedangkan 'karya' dari bahasa Kawi berarti 'tugas, pekerjaan'. Secara filosofis Jagakarya bermakna 'pasukan yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan'.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Jagakarya adalah Papasan, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hijau.

Papasan berasal dari kata nama tumbuhan atau burung papasan. Pendapat lain Papasan berasal dari kata dasar 'papas' menjadi 'amapas" yang berarti 'menghancurkan' (Wojowasito, 1977:190). Secara filosofis Papasan bermakna pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan semangat yang teguh.

Prajurit Prawiratama

Nama Prawiratama berasal kata prawira dan tama. Kata 'prawira' berasal dari bahasa Kawi berarti 'berani, perwira', 'prajurit', sedangkan "tama" atau "utama" bahasa Sansekerta yang berarti 'utama, lebih'; dalam bahasa Kawi berarti 'ahli, pandai'. Secara filosofis Prawiratama bermakna pasukan yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana perang.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja Prajurit Prawiratama adalah Geniroga, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Geniroga berasal dari kata 'geni' berarti 'api', dan kata Sansekerta 'roga' berarti 'sakit'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan mudah.

Sumber : Buku Prajurit Kraton Yogyakarta, Filososfi dan Nilai Budaya yang Terkandung di dalamnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta, 2008.
09:43

Candi Plaosan, A Wonderful Assemble of Temples in the Middle of Rice Fields

by , in
The complex is located to the east of Prambanan, in the Plaosan hamlet, village of Bugisan, Prambanan district, Klaten. To visit it you have to take the Jogjakarta-Solo highway, passing in front of the Prambanan temples, turn left (north), follow the road for for 2km. Take the right turn after a signpost indicating the temples, pass in front of the SPSP office and you will arrive at an intersection. Continue straight ahead and after 300m you will reach Plaosan Lor. You will be required to pay a contribution to enter. Plaosan Kidul is at the other side of the road, several meters to the south.

The Plaosan complex, 400x270m large, is constituted of a principal group and two sub-complexes at the north and the south. The first, Plaosan Lor, has two square courtyards, each containing a temple in a form similar to Candi Sari. Secondary temples and stupas, 58 of each, arranged in three tiers forming a rectangular complex, surround these courtyards. A specimen of each was reconstructed in 1941 and the two doors in 1945 and 1948. The second sub-complex, Plaosan Kidul, has one temple, 69 stupas and 18 secondary temples.

Plaosan like Prambanan and Sewu, makes an enormous complex of which we can, unfortunately, only approximate the function. Plaosan seems to have been a creation of a princess in the Sailendra dynasti, of Buddhist confession, who was married to a king of the Mataram dynasti, a Shivaist. The temple is thus the result of the pious cooperation and dates from the middle of the IXth century. An entourage has recently been discovered and you can see a fragment below, at the left side of the road about 20m away.

The two temples of the Plaosan Lor are oriented to the west and the doors that open to the ric fields are guarded by two large statues of Dwarpala that has always been sacred by the local villagers. The structure of the two sanctuaries is similar to that of the Sari temple; it has three chambers, each containing a statue on a plinth and we can observe the traces of an upward flight of stairs. By entering the first 9the one on the south side you will reach the central chamber whose altar is composed of two stone statues (boddhisattvas) surrounding an empty plinth, on which probably stood a Buddha in metal (bronze or silver).

At each side of this chamber, doors lead to other chambers containing representations of Dhyanis Buddha, Buddhist divinity of the Mahayana that has the task of saving all living creatures. The two statues are in lower level than of the center and has the right leg bent, delicately posed on a lotus, giving the impression of symbolizing the accessibilty of the bodhisattvas to its disciples. You will notice the extraordinary richness of the statue’s details, sitting on a lotus bed with other flowers jutting out from it, the number of gems representations of donators, priests, and pilgrims. A pasage enables a circumnavigation of the temple and you will see bas-reliefs representing bodhisattvas.

We reach the second temple, similar in form and motif, by a door in the entourage (at the north). Unfortunately, the statues of the second temple are in worse condition. Plaosan is made of andesite stones, while its enclosure and secondary temples are of white stones. Don’t miss the recently reconstructed stone terrace surrounded by secondary temples. The terrace is the base of third temple that undoubtedly was built of wood (the presence of pillar plinths). Numerous examples of the Javanese statuary art are present: Buddha, bodhisattvas, indo-Buddhist divinities, and so forth. Plaosan Kidul, discovered in 1941, stands in a state of ruins on the south side of the road and is undoubtedly an integral part of the complex.

Continuing to the north, you will see a series of modern buildings that are the Office of Archeological Services. The vast assemble of stones and statues are visible behind the railings belong to the complex, but also to other temples in the region.

Due to the presence of the courtyards, the local villagers believe that the rulers of the kingdom used the place as an area of cocklfighting. Until today they often hear the cries of the fighting cocks as well as the noise of the audience.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

09:36

Parangkusumo Beach, The Kingdom of the Queen of the South Sea

by , in
The Parangtritis and Parangkusumo beaches are about 27km tp the south of Jogjakarta. These beaches are very close to one another but the first is much better known and more often visited. Geographically these beaches are but the border with the Indian ocean, but for the Javanese people they have a significantly more important role. Like Merapi, these beaches have a major symbolic and mistic role. The ocean, Kraton, Merapi from in fact a perfect line, from the south to the north, which undoubtedly ,marked the spirit of the men who inhabit the place.

The Parangtritis beach is very easily accessible by all kinds of transport from the city. To reach the littoral composing the described site3s you will jave to pay a contribution.

To discover Parangkusumo, go for 1km after the booths and turn right (south); a sign will announce the beach. From the main road youn can reach the beach on motorbike or on foot. In the immediate surroundings you can also see the Sentono and Pemancingan hills.

Parangkusumo is located to the west of Parangtritis. It is a beaches of black sand and dunes that change with the wind. This site is one of three sacred places in the region with the Kraton and Mount Merapi. For ceremonies on the first of the Javanese month Suro (the Javanese New Year) and quite regularly during the year, offerings from the Kraton fore Nyi Roro Kidul, Queen of the South Seas, are made here. Off holidays, it is common to see people meditating on the beach to ask a favor or simply to pay homage to the one living in the waves, Nyi Roro Kidul.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).
09:28

Ambarketawang, The Ruins of Hamengku Buwono I

by , in
The ruins of the Ambarketawang palace can be reached by the road that leads from Jogjakarta to Wates. At the 5th kilometer, or at the intersection after the Restaurant “Mbok Berek”, turn left (south) and follow the road for about 500m. A signpost to the ruoins stands 50m from it. The location can be reached by public transport up to the intersectiion and the rest can be covered on foot. Administratively the site is in the village of Ambarketawang, Gamping district, Sleman regency.

The ruins of the palace Of the Prince Mangkubumi—better known under the name Hamengku Buwono I (1749-1792)—dates from the XVIIIth century. What remains of the palace are a pendopo (reception hall) of 9x6m, 5m in height, oriented to the west, and walls at the south west sides, at some places reaching 2.5m high. The location, charmingly nestled in the middle of the plantation and coconut trees, is so shaded that the walls are covered with moss. Nearby, 50m from the pendopo, inside a house, we can see a piece of thick wall, supposedly a remnant of the palace’s stables.

A little further, 180m to the west of the pendopo, there are other ruins of walls and barriers, now an integral part of the house of a villager. The wall were used by the guards (demang) of the palace and the place is until now called Kademangan. According to reseachers, the remains of the palace of Hamengku Buwono I are not limited to the three ruins but spread throughout the village of Ambarketawang.

The palace is also mentioned in the Giyanti Treaty (1755) when the Mataram kingdom was divided in two: Kasunanan (Solo) and Kasultanan (Jogjakarta). Although the two families of the Mataram fought the same enemy, the Dutch, their internal quarrels were stronger. Ambarketawang was thus the first palace of the branch to be constructed by Hamengku Buwono I, after he left Kartosuro. Finally, 50m at the east of the pavilion, we can see an old well, 1.5 in diameter and 2m deep.

The well is believed to posess a particular virtue. It is said that, in the 1970s, many disabled persons went there to be healed. The first case was that of invalid villagers who asked to be taken to the well to tkae a bath. He was accompanied by a number of people wanting to wash at the same time. Great was their surprise at seeing the invalid not only walking but also running as if possessed. The same thing happened to a becak driver who was paralyzed after an accident. After washing himself with the water he regained his ability to walk.

Before this miracles, the inhabitants of the village witnessed one night a blinding light descending from the sky towards the well. During the Javanese month of Sapar, the villagers hold a cewremony called Bekakak, which consists of sacrificing a made-of-food wedding couple. The couple represents the devotion to the King, referring to the servants of the palace who remained loyal to Hamengku Buwono I to death.

Source: Situs-Situs Marjinal Jogja (Sanctuaires Retrouvés/ Sites Out of Sight) - M. Rizky Sasono, Jean-Pascal Elbaz, Agung 'Leak' Kurniawan (Enrique indonesia, Yogyakarta: 1997).

18:16

Makna Filosofis Warna pada Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta

by , in
Warna dapat dipahami dalam tiga tingkatan. Pertama, adalah warna secara murni yaitu penggunaan warna untuk warna itu sendiri; kedua, adalah warna secara harmonis yang mengungkap kenyataan optis; ketiga, adalah warna secara heraldis atau simbolis.

Pada Prajurit Kraton Yogyakarta, warna akan dipahami secara simbolis. Sebagai simbol, warna dapat ditemukan antara lain pada pakaian dan bendera (klebet/dwaja). Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna dasar, seperti putih, merah, kuning, hitam dan biru, serta hijau.

Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu di dunia dibagi empat yang disebar di keempat penjuru angin dan satu di tengah sebagai pusat.

Warna juga dibagi empat atau lima. Warna hitam terletak di utara, sementara merah berada di selatan. Warna putih diletakkan di timur, dan barat memiliki warna kuning. Di tengah, sebagai pusat, adalah perpaduan dari berbagai warna tersebut. Masing-masing warna tersebut berasosiasi dengan berbagai hal, seperti sifat, dewa, bunga, serta benda-benda.

Berikut adalah makna beberapa warna yang terdapat pada prajurit Kraton Yogyakarta.

Warna Hitam, Wulung dan Biru

Warna hitam digunakan pada baju dan celana Manggala, baju dan celanaPandhega, baju prajurit Prawiratama, baju sebagian prajurit Nyutra, topi mancungan dari Prajurit Dhaeng.

Pada bendera prajurit Patangpuluh, warna ini menjadi dasar dari bendera Cakragora. Warna ini juga terlihat pada sebutan bendera Nyutra, yaitu Padma-sri-kresna. Kresna bukan saja nama tokoh pahlawan dalam pewayangan Mahabharata, melainkan juga warna hitam, seperti warna badan Sri Kresna.

Warna hitam adalah warna tanah, berkaitan dengan sifat aluamah Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.
Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan misalnya untuk blangkon prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih.

Warnawulung dekat dengan warna hitam, sehingga bermakna sama.

Warna biru, digunakan secara terbatas misalnya pada lonthong prajurit Dhaeng(Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra dan prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Makna dari penggunaan warna ini barangkali dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.

Warna hitam dalam pembagian secara simbolik di Jawa (mancapat) berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandhang (semacam bangau hitam), lautan nila (berwarna indigo atau biru), hari pasaran Wage, serta dewa Wisnu (Soehardi, 1996; 309).

Warna Merah dan Jingga

Merah digunakan pada beberapa pasukan. Pasukan yang menggunakan warna merah paling dominan adalah Prajurit Wirabraja, yang menggunakan warna ini pada topi centhung, baju sikepan, celana, hingga srempang, endhong (yang sekarang).

Pasukan lain yang cukup dominan menggunakan warna merah adalah Dhaeng. Warna merah diterapkan pada hiasan di depan dada, ujung lengan baju, serta plisir pada samping celana. Prajurit Nyutra menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana. Prajurit Ketanggung menggunakan kain merah sebagai pelapis baju.

Prajurit Patangpuluh menggunakan warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit.

Untuk bendera, merah digunakan sebagai motif hias pada bendera Gula-klapa, yang merupakan bendera Kraton Yogyakarta meskipun sekarang dibawa oleh bregadaWirabraja.

Merah sering dikonotasikan dengan keberanian (Brontodiningrat 1978: 15). Dalam hal ini, sesuai misalnya dengan sebutan Wirabraja untuk prajurit yang dikenal sebagai pemberani. Dalam kamus dinyatakan bahwa "wira" berarti 'kendel' (Poerwadarminta 1939: 664) atau 'berani' dan "braja" berarti 'gegaman' atau senjata.

Warna merah penting bagi kebudayaan-kebudayaan di Nusantara sejak lama. Lukisan dinding gua, juga penguburan pada masa Prasejarah menggunakan warna ini dari serbuk batuan hematit. Warna ini juga menemukan makna filosofisnya pada masa Hindu hingga dimodifikasi pada masa Islam yang diwujudkan antara lain dalam warna merah dari bendera Gula-klapa.

Warna jingga atau oranye digunakan untuk baju dalam prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan sering dimasukkan ke dalam warna merah. Oleh karena itu, warna ini memiliki makna pemberani, mirip dengan warna merah.

Dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), warna merah berasosiasi antara lain dengan api, selatan, logam swasa -yaitu campuran antara emas dan tembaga-, burung wulong, lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma (Soehardi, 1996; 309).

Warna Putih

Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak.

Pasukan yang menggunakan warna putih secara dominan adalah prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain menggunakan warna putih untuk celana panjang, yaitu prajurit Ketanggung dan Patangpuluh.

Warna putih juga digunakan sebagai warna dasar bendera Gula-klapa yang dibawa pasukan Wirabraja dan bendera Bahningsari dari Pasukan Dhaeng. Dua pasukan ini berada pada urutan depan dari barisan seluruh pasukan kraton jika sedang melakukan defile.

Di urutan bagian belakang, prajurit Mantrijero menggunakan warna putih sebagai bentuk bulatan di tengah hitam yang merupakan warna dasar bendera. Bendera ini disebut dengan Purnamasidhi, yaitu bulan purnama.

Di Kraton Yogyakarta, warna putih juga digunakan pada plak payung ampeyan KGPH atau Patih yang menyandang nama Pangeran (Isnurwindryaswari 2004:106).

Warna putih berdekatan makna dengan kebersihan atau kesucian. Hubungan antara putih dengan kesucian sudah berlangsung lama dalam sejarah kebudayaan.

Didalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa terdapat abdi dalem yang disebut Pamethakan. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti putih. Pakaian abdi dalem ini berwarna putih. Abdi dalem ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.

Dalam pembagian warna secara simbolik di Jawa (mancapat), warna putih berasosiasi antara lain dengan arah timur, perak, burung kuntul (bangau), air, santan, haripancawala Legi, serta Dewa Komajaya (Soehardi, 1996; 308).

Warna Kuning dan Emas

Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit kraton; hanya untuk hiasan, seperti hiasan lengan pada prajurit Nyutra. Warna kuning juga merupakan warna dasar dari bendera kedua regu pasukan Nyutra. Salah satunya adalah bendera Podhang Ngingsep Sari. Nama podhang berkaitan dengan warna bulu burung ini yang kuning.

Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan ketenteraman (Brontodiningrat, 1978; 15). Dalam upacara selamatan pada masyarakat Jawa, juga sering dihadirkan nasi kuning sebagai bagian dari sesaji. Hal ini merupakan simbol pengharapan akan keselamatan dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Di Kraton Yogyakarta, warna kuning antara lain hadir pada warna plak payung yang digunakan oleh pangeran sentana, juga payung yang digunakan untuk menaungi makanan dan minuman yang dihidangkan untuk Sultan (Isnurwindryaswari, 2004; 110).

Dekat dengan warna kuning adalah warna emas. Warna kuning emas digunakan misalnya oleh prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji, plisir pada baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan antara Lurah dan prajurit Jajar, sebagaimana terlihat pada pasukan Patangpuluh, prajurit Jagakarya. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan (Herusatoto, 1985; 95).

Warna emas (prada) mengandung makna kemuliaan dan kemakmuran yang dapat meningkatkan kewibawaan raja (Herusatoto, 1985; 95). Sebagai logam mulia, emas merupakan logam yang stabil, tidak mudah bereaksi terhadap unsur-unsur lain. Logam ini juga merupakan logam yang indah, mudah dibentuk, serta langka. Oleh karena itu, emas termasuk logam berharga.

Di Kraton, emas atau prada digunakan untuk mewarnai beberapa bagian bangunan, seperti umpak, tiang, dan sebagainya, untuk tempat-tempat yang disinggahi oleh Sultan. Selain itu, warna emas juga terdapat pada payung kebesaran Sultan, KanjengKyai Tunggul Naga (Isnurwindryaswari, 2004; 110). Banyaknya warna prada pada lambang-lambang kerajaan disebabkan karena warna ini menimbulkan kultus kemegahan (Moertono, 1985; 73).

Warna kuning dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), antara lain berasosiasi dengan udara, arah barat, emas, burung podhang, lautan madu, hari Pon, serta Dewa Bayu (Soehardi, 1996; 309).

Warna hijau

Warna hijau, digunakan antara lain pada sayak Lurah prajurit Patangpuluh. Pada bendera, muncul pada warna bendera Pareanom, serta bendera Papasan. Warna kedua bendera ini meniru warna buah-buahan. Warna ini adalah simbol pengharapan (Brontodiningrat, 1978; 15).

Sumber : Buku Prajurit Kraton Yogyakarta, Filososfi dan Nilai Budaya yang Terkandung di dalamnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta, 2008.
18:32

Makna Filosofis dan Nilai Budaya Prajurit Keraton Jogjakarta

by , in
Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) sebagai pendiri Dinasti Mataram - Ngayogyakarta, adalah seorang ahli strategi perang, juga seorang arsitek, negarawan dan budayawan sejati.

Sri Sultan Hamengku Buwono I sangat memegang teguh akan pentingnya nilai historis maupun filosofis-religius yang dipercaya dapat berpengaruh pada sikap perilaku dirinya sebagai raja berpengaruh pada para kawulanya. Itulah sebabnya pada waktu negosiasi dengan Comm. Gen. N. Hartingh di desa Pedagangan, Grobogan tanggal 22 - 23 September 1754, Pangeran Mangkubumi bersikukuh letak Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat harus di Hutan Beringan, desa Pacethokan, diapit Sungai Code dan Sungai Winongo, di Utara ada Gunung Merapi dan di Selatan ada Samodra Indonesia.

Pemilihan letak pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat pemerintahan tersebut tidak sekadar didasarkan atas pertimbangan fisik dan teknis semata. Justru pertimbangan faktor filosofi, religi dan budaya yang lebih dominan.

Pada waktu Sri Sultan Hamengku Buwono I menciptakan satuan prajurit Kasultanan sampai penempatan lokasi tempat tinggal prajurit yang menyerupai tapal kuda terhadap lokasi kraton Yogyakarta pun tidak lepas dari pertimbangan filosofis, teknis dan budaya.

Falsafah dasar yang diletakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di dalam membentuk watak prajurit kraton adalah "Watak Ksatriya" atau "Wataking Satriya Ngayogyakarta' yang dilandasi dengan credo (sesanti) Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh.

Falsafah Sawiji (Nyawiji), Greget, Sengguh, Ora Mingkuh ini merupakan budaya ide Sri Sultan Hamengku Buwono I, kemudian dimanifestasikan dalam budaya perilaku. Sesanti ini dipegang sebagai falsafah hidup, pandangan hidup dan falsafah Joged Mataram.

Sebagai Falsafah Hidup

Sawiji artinya orang harus selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Greget berarti seluruh aktivitas dan gairah hidup harus disalurkan melalui jalan Allah SWT. Sengguh dimaknai sebagai harus merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk paling sempurna. Ora mingkuh artinya, meskipun mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam hidup, namun selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil.

Sebagai Pandangan Hidup

Sawiji diartikan konsentrasi yang harus diarahkan ke tujuan hidup atau cita-cita. Greget adalah dinamika dan semangat hidup yang harus diarahkan ke tujuan melalui saluran - saluran yang wajar. Sengguh artinya percaya penuh pada kemampuan pribadinya untuk mencapai tujuan. Ora mingkuh perlu dipegang erat-erat. Meskipun dalam perjalanan menuju ke tujuan (cita-cita) akan menghadapi halangan-halangan tetap tidak akan mundur setapakpun.

Sebagai Falsafah Joged Mataram

Sawiji artinya konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa. Greget bermakna dinamis atau semangat yang membara di dalam jiwa setiap penari tidak boleh dilepaskan begitu saja, akan tetapi harus dapat dikekang untuk disalurkan ke arah yang wajar dan menghindari tindakan yang kasar. Sengguh itu percaya diri sendiri tanpa mengarah ke kesombongan atau pongah. Ora mingkuh sikap yang tidak lemah jiwa atau kecil hati, tidak takut menghadapi kesukaran - kesukaran dan mengandung arti penuh tanggung jawab.

Falsafah Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dijadikan landasan pembentukan watak kesatriya yang pengabdiannya hanya ditujukan pada nusa, bangsa dan negara. Watak luhur berdasar idealisme dan komitmen atas kebenaran dan keadilan yang tinggi, integritas moral serta nurani yang bersih.

Kesatrya itu penampilannya dilengkapi dengan pakaian yang sering disebut dengan Baju Takwa. Baju Takwa dimaksud juga disebut dengan Pengageman Mataraman atau Surjan. Dalilnya adalah Al Qur'an, Surat Al A'raaf ayat 26, yang terjemahannya :"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dan tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat".

Pakaian takwa secara resmi merupakan pakaian identitas "Wong Ngayogyakarta" yang ditentukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I beberapa waktu setelah perjanjian Giyanti ditandatangani.

Sumber : Buku Prajurit Kraton Yogyakarta, Filososfi dan Nilai Budaya yang Terkandung di dalamnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta, 2008.

My Instagram