16:47

Sensasi Soto di Pojok Pasar Beringharjo

by , in
Kalau sekali waktu Anda ke Malioboro, cobalah cari warung soto daging sapi Pak Mul. Di sini Anda akan mendapatkan sensasi yang berbeda.

Di tengah ramainya orang-orang berseliweran menyusur lorong pertokoan di Malioboro dan yang hendak berbelanja di Pasar Beringharjo, Anda menyantap soto daging sapi panas.

Warung yang berdiri tahun 1985 ini berlokasi di pojok utara pasar Beringharjo. Warung ini hanya menempati bagian pojok gedung pertokoan yang berukuran kira-kira 2,5 x 2 meter. Hanya ada dua meja panjang di samping kanan dan kiri, dan satu bangku kayu panjang di tengahnya.

Kalau penuh pengunjung, Anda harus duduk beradu punggung dalam satu bangku dengan pengunjung lain. Di situ maksimal hanya bisa ditempati delapan orang. Kalau selesai menyantap dan ingin keluar, Anda pun harus permisi lebih dulu kepada pengunjung lain, agar mereka bersedia menyingkir sebentar supaya Anda bisa lewat.

Meski tampak kurang nyaman, tapi justru di situlah letak sensainya. Menyantap soto panas di ruang sempit. Karena suasana yang begitu, warung ini justru banyak jadi jujugan pelancong. Mereka yang dulu pernah sekolah di Jogja dan menjadi pelanggan pun tak kemudian melupakan jika suatu saat kembali ke Jogja. Mereka pun kemudian menamainya warung “Soto Sempit”.

Soto daging sapi Pak Mul segar dan sedap. Dalam semangkuk berisi nasi, daging sapi, dan babat. Harganya pun tak mahal, hanya 7.000 rupiah semangkuk. Warung ini buka setiap hari, dari pukul 09.00 – 16 00.

Sumber: Majalah Kabare, edisi Maret 2011.

14:29

“Singing On The Darkness”, Pameran Tunggal Patung Karya Dunadi

by , in



Mulut manusia menganga lebar, mengeluarkan banyak binatang yang berlarian seolah ketakutan. Menjauh dari mulut itu, dan bergerak keluar mencari kebebasan dari gelapnya keadaan.

Keberadaan manusia kini dipertanyakan. Komunikasi antarmanusia tak lagi digubah sebagai bentuk ruang etik atau sebagai penghormatan bersama. Justru yang muncul adalah ‘kegelapan’ tutur yang penuh dengan intimidasi.

Itulah manusia, disulut sedikit saja, api besar dan sumpah serapah akan muncul dari dalam diri manusia. Ada jiwa yang mencengangkan ditengah kelembutan manusia. Hasilnya, adalah teriakan gusar yang tak mampu dibendung seperti binatang yang lari ketakutan dan tak mampu lagi hadir dibenak manusia yang mengalami perubahan.

Itulah gambaran dari salah satu patung mulut manusia yang menganga lebar dalam pameran tunggal Dunadi bertajuk “Singing On The Darkness” di Jogja Galerry 10 Desember lalu.

Selama 20 tahun berkiprah menjadi seniman patung dengan karya-karya patung gigantik nya, namun inilah pertama kalinya ia mengadakan pameran tunggal. Tak mudah memang bagi seniman untuk dapat mengadakan pameran tunggal atas hasil karyanya.

Butuh waktu lama dan persiapan yang matang. Tapi Dunadi membuktikannya. Dan Kota Jogja, khususnya Jogja Gallery tentu akan mencatat peristiwa penuh sejarah dalam hidup seniman asal Bantul ini.

“Puluhan objek dalam wujud binatang dalam berbagai ukuran ini juga bukan semata simbol tunggal yang hanya mengungkapkan persoalan binatang itu sendiri. Akan tetapi, eksistensi binatang telah mencapai puncaknya sebagai kemarahan manusia”. Itulah yang disampaikan Mike Susanto, Kurator pameran yang juga menghadiri acara pembukaan pameran di Jogja Galerry malam itu.



Gagasan Dunadi dalam menciptakan karya-karya patung selama ini memang bersentuhan dengan suasana multi krisis masyarakat indonesia. Memiliki fungsi sosial atau pengingat peristiwa dan pengidentifikasi krisis massa. Keberhasilannya sebagai seniman patung murni yang memiliki spirit kritis, juga tak lepas dari peran Edhi Sunarso, Seniman senior yang karya-karya nya telah dikenal masyarakat dunia.

Di bangku kuliah, Edhi pula lah yang selalu mengajarkan kepadanya untuk selalu berkarya dengan selalu berpegang terhadap konsistensi aliran yang telah dianutnya sekarang.

“Dunadi adalah murid saya satu-satunya yang berhasil menunjukkan konsistensinya untuk berjalan dan menjadi seniman dengan aliran realis yang saya ajarkan dulu. Dan merupakan kebanggaan bagi saya melihat murid saya sekarang mampu mengadakan pameran tunggal. Saya pun berharap untuk seniman masa sekarang untuk memiliki sikap tidak cepat puas atas apa yang diraih”, jelas Edhi usai pembukaan pameran.

Sumber: Majalah Kabare, edisi Januari 2011 (Teks: Dwi Kurnia, foto: Albert).

13:56

Menguak Tradisi Batik Gentongan Madura

by , in


Sebuah pameran Batik dari Pulau Madura dengan tema, “Menguak Tradisi Batik Gentongan” diselenggarakan di Museum Tekstil Jakarta. Pameran ini merupakan hasil kerja sama Museum Tekstil, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta bersama Dekranasda Provinsi Jawa Timur, Dekranasda Kabupaten Bangkalan dan Bupati Bangkalan.

Batik Madura dapat digolongkan sebagai batik pesisiran, seperti halnya batik Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Lasem dan Tuban. Persamaan yang menjadi ciri khas dari batik pesisiran adalah dalam penggunaan warna yang cerah dan dinamis. Corak ragam hias batik pesisir biasanya diilhami oleh flora, fauna serta lingkungan sekitar.

Pulau Madura dikelilingi laut sehingga sumber laut seperti ikan, kapal / perahu menjadi corak yang khas batik-batik Madura. Pewarnaan yang kontras dan tegas dipengaruhi oleh alam lingkungan dan masyarakat Madura yang dikenal kebraniannya mengarungi laut.

Dalam bukunya Nian Djumena menuliskan ada dua wilayah batik Madura yang secara tradisional mempunyai kemahiran membatik yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yakni, wilayah batik di daerah pantai (seperti Tanjungbumi, Paseseh, Telagabiru) dan wilayah batik di pedalaman (seperti Sampang, Pamekasan, Sumenep).



Dalam hal corak motif setiap daerah pembatikan di wilayah Madura sendiri mempunyai cirri khasnya masing-masing. Corak ragam hias batik dari daerah pedalaman seperti Sampang, Pamekasan dan Sumenep, coraknya banyak dipengaruhi oleh batik tradisional Solo dan Yogyakarta.

Batik Madura seperti halnya batik pesisiran lainnya, mendapat pengaruh dari daerah luar Madura, antara lain dalam ragam hias lar-sayap garuda, ragam hias Sekar Jagad, Pisang Bali, ragam hias buket pengaruh Belanda, ragam hias naga dan burung hong pengaruh dari Cina.

Ciri ragam hias atau motif batik Madura pada umumnya tegas, ekspresif, naturalis, motif yang tampak seperti apa yang dilihat kemudian langsung dituangkan dalam gambar. Ciri khas yang lain dari Batik Madura adalah tidak ada batik cap, mereka membatik langsung dengan menggunakan canting.

Sumber: Majalah Kabare, edisi Januari 2011

16:30

Rumah Sleman Private Boutique Hotel, Pesona Kemewahan Aristokrat

by , in
Pernah berkunjung ke Kraton Yogyakarta atau Kraton Kasunanan Solo? Kalau jawabannya pernah, berarti Anda dapat membayangkan bagaimana mewahnya desain interior dan eksterior istana-istana kerajaan zaman dahulu.

Keraton dalam dinamika masyarakat Jawa memang menjadi pusat panutan budaya. Termasuk di dalamnya soal perangkat furniture pengisi ruangan. Meja, kursi, almari, dipan, dan sebagainya menghadirkan sebuah kemewahan aristokrat yang begitu indah. Di dalamnya juga tersimpan beragam makna yang begitu brilian.

Kemewahan ala bangsawan kerajaan Jawa inilah yang menjadi sajian utama di Rumah Sleman Private Boutique Hotel, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Keindahan arsitektur, desain dan dekorasi kamar yang memiliki sentuhan Jawa dan gaya kolonial Belanda menjadi daya tarik tersendiri bagi keberadaan boutique hotel ini.

Awalnya, bangunan berbentuk rumah joglo ini merupakan rumah tinggal yang dibangun oleh Darah Dalem Keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1814 di Kampung Sewu, Solo. Bangunan ini kemudian dipindahkan ke Desa Warak.

Di penginapan ini terdapat bermacam-macam furniture klasik warisan leluhur yang begitu mempesona. Paling istimewa adalah sebuah kursi dan almari kuno peninggalan Paku Buwono X dari Surakarta. Selain itu, sejumlah perabot rumah tangga klasik lainnya juga turut dipajang sebagai pelengkap citra kemewahan aristokrat tersebut.

Sumber: Majalah Kabare, edisi Januari 2011 (Teks: Singgih Wahyu N., foto: Budi Prast).

14:12

Aksesoris Bergaya Etnik nan Cantik

by , in


Aksesoris bergaya etnik nan cantik dan elegan kerap dicari para pencinta aksesoris. Meski modelnya mengadaptasi dari gaya kolonial Jawa, namun ketika dipadukan dengan sentuhan modern, aksesoris etnik ini pun menjadi tak lekang zaman.

Mengenakan aksesoris telah menjadi sebuah gaya hidup tersendiri kaum urban masa kini. Aksesoris semakin lama sepertinya sudah memegang peranan penting bagi penampilan si pemakai. Dan kini, dia tak hanya sekadar menjadi pelengkap busana tetapi juga bisa menampilkan jati diri hingga suasana hati sang pemakai. Dia bukan lagi sebagai pelengkap busana semata namun menjadi penunjang penampilan Anda.

Semakin banyak toko atau butik aksesoris bermunculan, rupanya membuat para fashionista dapat dengan mudah memilih serta memadupadankan antara busana yang akan dipakai dengan berbagai aksesoris penunjang gaya berpakaian. Berbagai model aksesoris cantik, mulai dari rantai-rantai dengan gaya etnik, aneka gelang, kalung, hingga bros yang dibuat dari kristal swarovsky, dapat juga membuat penampilan Anda semakin modis, cantik, dan elegan.



Model Aksesoris Aristokrat Jawa

Mungkin tak banyak yang tahu jika aksesoris sudah mulai digemari sejak zaman raja-raja Jawa masih berkuasa. Sebuah buku karangan dari John N. Miksic berjudul Old Javanese Gold banyak menceritakan seluk-beluk emas di Jawa, peran dan pemanfaatannya, sejak zaman prasejarah hingga awal abad ke-15, sebelum Islam masuk.

Seperti Power and Gold, buku ini juga katalogus koleksi Hunter Thompson, di Singapura, yang sebagian besar berupa perhiasan emas Jawa. Pengarangnya, John Miksic, adalah seorang arkeolog yang mengkhususkan diri dalam penelitian peradaban klasik Asia Tenggara. Perhiasan memang bisa merupakan suatu obyek penelitian tersendiri.

Sedangkan Susan Rodgers, seorang antropolog dari Amerika, dalam Power and Gold mengungkapkan, misalnya, bahwa, berbeda dengan di Barat, di Asia Tenggara perhiasan tradisional tidak sekadar berperan sebagai penghias tubuh, investasi, atau simbol status, tapi juga sarana wajib dalam upacara-upacara tertentu yang menandai peralihan dalam hidup, antara lain waktu menikah atau meninggal.

Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam kebudayaan Jawa kuno, perhiasan yang didominasi dan terbuat dari emas itu tidak hanya berperan sebagai penghias tubuh, investasi, atau simbol status. Dia juga sebagai mata uang dan sarana ritual keagamaan.

Berbeda dengan Susan, John Miksic membahas perhiasan (emas) di Jawa dari sudut sejarah. Dalam kebudayaan Jawa kuno, emas tidak cuma dipakai untuk perhiasan. Ia juga dipakai sebagai mata uang, dan sarana ritual keagamaan. Banyak yang menarik dari kajian Miksic. Antara lain, kita dapat menyimak peralihan keterampilan dan teknik masyarakat Jawa dalam mengolah emas.

Emas telah diolah di Indonesia sejak zaman prasejarah. Sebelum digunakan sebagai perhiasan, dalam bentuk yang sederhana (tanpa dipanaskan, hanya lewat proses penempaan), ia telah digunakan sebagai penutup mata, hidung, dan mulut jenazah. Lalu berkembang menjadi penutup wajah jenazah (death mask).

Pada jaman Kerajaan Kuno Mataram pun, perhiasan sudah mulai dikoleksi. Hingga saat ini beberapa diantaranya pun masih tersimpan baik di Keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah perhiasan pusaka yang dipakai oleh GKR Pembayun pada hari pernikahannya. Perhiasan tersebut berupa pethat gunungan, lima buah cunduk menthul yang dipasang di kepala, centhung, subang ronyok, sangsangan susun tiga, cincin, binggel, kelat bahu, dan pending. Model-modelnya pun sangat kental dengan gaya aristokrat khas kerajaan Jawa masa silam yang kaya akan detail namun elegan.

Model etnik semacam itu, kini kembali populer. Menurut Miksic, para perajin perhiasan dan aksesoris biasa membuat manik-manik dengan menggabungkan antara emas, perak, tembaga dengan kawat dan rantai. Perhiasan yang bersifat klasik inilah yang memiliki model abadi dan tahan akan perubahan zaman.



Tren Aksesoris Gaya Etnik

Di zaman sekarang, aksesoris bergaya etnik kembali digemari oleh masyarakat. Sudah banyak desainer perhiasan yang mengangkat model ini sebagai tren aksesoris. Kebanyakan tidak lagi dibuat dari emas, melainkan tembaga. Tujuannya jelas, aksesoris ini bisa dipakai siapa saja tanpa melihat kasta. Aksesoris dari tembaga memang terlihat etnik, modis, lebih elegan, dan mungkin satu-satunya model yang tak lekang zaman.

Berbagai model aksesoris etnik mulai dari gelang, cincin, kalung, bros hingga anting tak jarang menarik minat masyarakat untuk mengkoleksi. Tak hanya itu, desainer sekelas Emporio Armani pun kini mengeluarkan rancangan aksesorisnya yang bernuansa klasik.

Tahun 2011 ini akan menjadi musimnya perhiasan tebal dan besar. Berbagai model kalung besar, anting-anting chandelier panjang dan cincin bermata besar akan mendominasi. Warna-warna perak, perunggu, emas dan kuningan akan kembali populer karena sangat cocok dipadupadankan dengan busana kasual sehingga dapat mempercantik penampilan sehari-hari.

Salah satu yang paling digemari kaum hawa saat ini adalah perhiasan perak bakar. Kebanyakan aksesoris ini dilengkapi dengan batu berwarna-warni. Umumnya, aksesoris ini diminati karena modelnya yang klasik namun berkesan mewah. Perhiasan berbahan dasar perak asli ini diproses dengan pembakaran pada suhu tertentu sehingga dapat menghasilkan warna yang indah. Aksesoris ini sering menjadi pilihan alternatif para wanita karena ketahanan warna yang relatif lebih lama dibanding bahan lain.

Menurut Rima, asisten manajer Jolie Accessories, tema aksesoris bernuansa etnik tak akan pernah mati meski diprediksi tren aksesoris 2011 akan lebih banyak menampilkan hiasan bulu-bulu indah. Menurutnya, aksesoris etnik juga tetap digemari.

Toko yang berlokasi di Jalan Diponegoro 110 Yogyakarta ini, selain menjual berbagai bahan dan aksesoris jadi, ternyata juga mulai mengembangkan berbagai kursus membuat aksesoris untuk para pelanggannya. Dengan itu, Anda atau pelanggan bisa membuat sendiri model sesuai selera.

“Banyak juga yang tertarik belajar membuat aksesoris. Tentunya berbeda dan kreasi sendiri. Kami di sini menyediakan para pelatih yang sudah profesional,” ujarnya kepada Kabare.

Namun, bagi pelanggan yang ingin kursus secara privat juga dilayani dan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- saja untuk waktu selama dua jam. Mereka pun bisa memilih, mau mengambil kursus membuat apa saja termasuk aksesoris bergaya etnik. Anda tertarik?

Sumber: Majalah Kabare, edisi Januari 2011 (Teks:Della Yuanita, foto: Budi Prast).

13:19

Lezatnya Nasi Liwet Bu Wongso Lemu

by , in


Belum lengkap rasanya ke Solo kalau belum menikmati nasi liwet, masakan khas kota Bengawan ini. Sama seperti Jogja, Solo juga banyak memiliki kuliner klangenan. Menikmati nasi liwet sama dengan mencicip kembali kelezatan kulineri tempo dulu.

Tidak saja rasa dan aroma, tapi cara penyajiannya pun mengingatkan keistimewaan masa lalu Kota Solo. Nasi liwet adalah nasi putih yang ditanak dengan santan, kaldu ayam, lalu diberi sedikit garam agar menjadi gurih dan daun pandan untuk menambah sedap aroma. Sebagai pelengkapnya, sambal goreng labu siam dan daging ayam dimasak ungkep; direbus dengan bumbu, kemudian diangkat dan ditiriskan. Kemudian disajikan dalam sebuah pincuk, wadah yang dibuat dari daun pisang, yang salah satu bagiannya ditekuk dan disemat dengan lidi.

Nasi liwet bisa ditemui di berbagai sudut kota Solo. Namun ada warungnya yang sangat kondang dan melegenda. Yaitu warung Nasi Liwet Bu Wongso Lemu. Dirintis sejak 1951, warung ini menjadi langganan warga. Konon, tak jarang mendiang Pak Harto, mantan presiden RI ke-2, dawuh ajudannya untuk membelikan nasi liwet di warung itu untuknya.

Nasi liwet Wongso Lemu kini dikembangkan oleh keturunannya. Tak kurang lima warung nasi liwet ada di ruas Jalan Teuku Umar, Keprabon, dekat jalan protokol Slamet Riyadi. Warung-warung ini milik klan Wongso Lemu yang sudah melegenda itu.

Sumber: Majalah Kabare, edisi Januari 2011 (Teks: FA Herru, foto: Albert).

13:42

Foie Gras ala Paprika Restaurant Hotel Phoenix Yogyakarta

by , in


Prancis tak hanya termasyhur karena keberadaan menara Eiffel di Kota Paris. Negeri asal Napoleon Bonaparte ini juga dikenal memiliki ragam kuliner yang khas, elegan, dan bercitarasa tinggi. Masakan Prancis yang didominasi penggunaan wine, krim mentega, serta aneka ragam saus, sudah begitu kondang sejak lama.

Foie gras yang berarti hati berlemak, salah satunya. Ini adalah masakan eksklusif dari Prancis. Foie gras terbuat dari hati angsa yang dimasak dengan bumbu-bumbu spesial, di antaranya Porto wine dan lemak angsa untuk dapat menambah aroma sangat sedap dan khas.

Dalam kultur masyarakat Prancis, menu ini biasanya hanya disantap sekali dalam setahun, yaitu ketika menyantap makanan saat merayaan Natal. Meski terkenal sebagai sajian khas Prancis, santapan hati angsa ini pertama kali muncul justru di Mesir. Orang-orang Bulgaria pun tercatat telah membuatnya sejak 2000 tahun lalu.

Untuk menikmati foie gras, tentu Anda tak perlu terbang ke negeri romantis itu. Di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, pun ada restoran yang menyediakan menu-menu khas Prancis. Di Yogyakarta, foie gras dapat Anda santap di Paprika Restaurant Hotel Phoenix Yogyakarta. Hotel ini menyediakan tiga menu foie gras; yaitu foie gras cappuccino, foie gras artichokes, dan our legendary foie gras ravioli.



  • Foie gras cappuccino: Kelezatan hati angsa yang disajikan dengan segarnya nanas dan apel. Ditambah juga dengan lembutnya foam milk dan truffle oil.
  • Foie gras artichokes: Hati angsa yang disajikan dengan artichoke organik goreng renyah, ditambah saus apel caramel dan rasberry.
  • Foie gras ravioli: Inilah menu legendaris sajian Hotel Phoenix. Sajian ravioli yang diisi hati angsa dan disajikan di atas jamur dan truffle oil saus.

Sumber: Majalah Kabare, edisi Januari 2011.

My Instagram